Mochtar W Oetomo
Radar Surabaya, 8/2/2010
Seperti kita tahu, tahun 2010 ini adalah tahun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bagi Jawa Timur (Jatim). Ada 18 kabupaten dan kota yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Yakni, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Sumenep, Pacitan, Ngawi, Kabupaten Kediri, Kab dan Kota Blitar, Trenggalek, Kabupaten Malang, Kota Pasuruan, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Kabupaten Mojokerto dan Ponorogo.
Ada yang patut kita sayangkan dari maraknya pemberitaan tentang hiruk pikuk pilkada di berbagai daerah ialah minimnya calon bupati/walikota independen, baik sebagai sebuah kehadiran maupun diskursus. Meski bisa dimaklumi, bahwa untuk menjadi calon independen adalah sesuatu yang sangat berat dalam segala aspek, namun keberadaannya sungguh niscaya bagi tumbuhkembangnya demokrasi, di tengah makin apatisnya publik pada partai politik.
Ditambah lagi dengan model pilkada langsung seperti sekarang ini, kandidat bupati/walikota tidak bisa lagi sekedar mengandalkan kebesaran partai politik, termasuk mengandalkan berapa banyak partai itu memiliki kursi di gedung Dewan. Dalam pemilihan langsung yang terpenting adalah siapa figur yang maju, dan itu tidak mesti dari partai.
Maka popularitas dan ketokohan sang figur menjadi syarat yang tak bisa dikesampingkan. Seseorang mungkin memiliki syarat tersebut, tetapi bisa saja tidak lolos dalam seleksi parpol. Sebab seleksi parpol acapkali lebih melihat berapa harga yang bisa dibayar dan konsekuensi apa yang harus dilakukan oleh kandidat jika menang. Dalam konteks inilah maka keputusan MK yang membolehkan calon independen maju dalam pilkada sesungguhnya menjadi angin segar. Paling tidak memberikan ruang alternatif pilihan bagi publik.
Lalu, apa perbedaan kepala daerah yang terpilih dari jalur independen dan yang berangkat dari parpol atau gabungan parpol? Jika dilihat dari proses pencalonan, tentu terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada pilkada langsung yang pertama tahun 2005, parpol menjadi pintu satu-satunya bagi calon yang ingin mengikuti pertarungan memperebutkan kursi orang pertama di suatu daerah. Sebagian pengamat menilai, hal itu tidak sejalan dengan napas demokrasi, karena rakyat dipaksa memilih calon yang telah ditetapkan parpol.
Ironisnya, banyak desas-desus yang mendekati nyata, bahwa dalam menentukan calon yang akan ikut pilkada, partai politik mensyaratkan biaya yang bisa mencapai miliaran rupiah. Parpol seolah tidak peduli apakah calon itu didukung rakyat atau tidak, yang penting bersedia menyetor sejumlah dana yang biasa diistilahkan untuk membeli kendaraan politik. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Buntutnya tentu bisa ditebak. Kepala daerah yang lahir melalui proses seperti itu, selama menjabat akan selalu berusaha mengembalikan dana yang telah dikeluarkan untuk parpol. Dia tidak akan begitu peduli pada rakyat di daerahnya, karena merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan rakyat. Tentu saja hal itu sangat berbahaya.
Di sisi lain calon yang sebenarnya sangat didukung rakyat tetapi tidak diakomodasi parpol, menjadi tidak bisa ikut pilkada. Sehingga rakyat dipaksa memilih calon yang tidak sesuai aspirasi mereka. Padahal dalam demokrasi, rakyat harus diberi keleluasaan untuk memilih yang sesuai aspirasi mereka.Karena itulah calon dari partai yang terpilih lima tahun lalu atau wakil yang meneruskan (incumbent), sekarang perlu dihadapkan dengan calon independen ataupun pendatang baru lainnya.
Pertarungan politik untuk merebut kursi bupati/walikota akan lebih lengkap bila ada calon independen ataupun pendatang baru yang memiliki karakter kuat di tengah masyarakat.Dengan sistem pemilihan langsung dan ketersediaan calon yang berasal dari dua sumber, rakyat sebenarnya diuntungkan. Pola itu akan melahirkan figur pemimpin yang benar-benar dikehendaki masyarakat. Siapapun yang menjadi pemenang merupakan bukti bahwa dialah figur kuat yang didukung masyarakat. Dalam hal ini calon perseorangan juga memiliki peluang untuk memenangi asalkan memiliki karisma dan bisa diterima oleh rakyat dan desain pemenangan yang jitu.
Tampilnya calon perseorangan akan menjadi penentu pilihan masyarakat sekaligus untuk menguji, sejauh mana masyarakat memahami arah demokrasi untuk kepentingan bangsa. Calon independen jika terpilih tidak punya beban mengembalikan modal yang digunakan untuk membeli kendaraan politik. Setidaknya modal yang digunakan lebih kecil, karena dana yang seharusnya digunakan untuk membeli kendaraan politik itu bisa langsung dialirkan kepada rakyat.
Dengan demikian selama lima tahun jabatan, kepala daerah yang berangkat dari calon independen bisa lebih konsentrasi dalam masalah-masalah pembangunan dan kerakyatan, lebih punya banyak waktu untuk merealisasikan mimpi-mimpinya tentang kejayaan daerah yang dipimpin. Ini sisi positifnya. Di sisi lain ada pengamat yang mengatakan, calon independen bakal menemui kendala ketika terpilih. Karena tidak ada dukungan konkret di lembaga legislatif. Hal ini karena sistem politik belum siap.
Berdasarkan pengalaman selama ini, calon dari partai kecil yang menjadi kepala daerah selalu menjadi bulan-bulanan DPRD. Akibatnya, stabilitas politik dan pembangunan terganggu.
Mochtar W Oetomo, MA
Staf Pengajar FISIB Unijoyo Madura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar