Sabtu, 06 Februari 2010

PT TVRI: Mengayuh Di Antara Karang TV Swasta


Mochtar W. Oetomo

Surabaya Post, Mei 2002
Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2002 tertanggal 17 April, niatan TVRI untuk merubah statusnya dari Perusahaan Jawatan (Perjan) menjadi Perseroan Terbatas akhirnya terkabul (Kompas, 27/4). Ada beberapa konsekuensi prospektif dan produktif dengan perubahan status TVRI tersebut. Pertama, dengan menjadi PT maka TVRI harus bisa menghidupi diri sendiri karena tidak mungkin lagi mengharapkan dana dari APBN. Ini membawa konsekuensi TVRI harus mampu mengemas berbagai program siarannya agar laku di pasar iklan. Karena setelah lepas dari status Perjan, maka satu-satunya harapan hidup TVRI adalah dari iklan. Meskipun beberapa bulan terakhir TVRI sudah membuka diri dari iklan, toh belem begitu banyak iklan yang masuk. Ini membuktikan bahwa program-program siaran TVRI belum cukup mendapat tempat di pasar iklan. Dengan demikian ada asumsi bahwa hingga kini program TVRI belum dapat diterima oleh publik secara luas.

Konsekuensi pertama tersebut akan membawa pada konsekuensi kedua, yakni TVRI harus mandiri baik pada level redaksional maupun operasionalisasi perusahaan. Pada level redaksional TVRI memiliki peluang prospektif dan produkstif untuk mengembangkan program-program siarannya secara progresif. Dengan SDM yang relatif berpengalaman TVRI mempunyai kesempatan yang luas untuk keluar dari karakter konservatifnya yang selama ini banyak dikeluhkan oleh khalayak. Dalam hal ini TVRI cukup mempunyai peluang karena dengan status barunya maka intervensi-intervensi redaksional dari pihak pemerintah akan semakin kehabisan kanal. Hingga selain berkemungkinan mengembangkan keredaksionalan yang progresif, TVRI juga bisa merebut peluang untuk menjadi TV publik yang netral.

Sementara pada level operasional perusahaan, TVRI menjadi memiliki peluang desentralistik yang progresif dan prospektif untuk melakukan berbagai bentuk aliansi strategi bagi upaya mengembangkan dirinya. Apakah itu aliansi dengan perusahaan lain, pihak pengiklan, atau lembaga-lembaga lain yang mungkin mendukung visi dan misi TVRI. Dengan status Perjan, mungkin selama ini begitu banyak konservatisme yang menghambat TVRI untuk melakukan berbagai aliansi yang sesungguhnya progresif, prospektif dan produktif. Hanya jangan sampai bentuk aliansi nantinya didasarkan semata-mata pada pertimbangan ekonomis hingga TVRI hanya akan menjadi tangan panjang (ideologi, politik, ekonomi) pihak lain seperti model aliansi yang dilakukan Global TV dengan menggandeng MTV.

Ketiga, status karyawan yang semula PNS menjadi karyawan BUMN. Konsekuensi ini di satu sisi bisa saja dipahami sebagai kiamat bagi karyawan, karena kehilangan kepastian masa depannya (pensiun). Namun dengan begitu ini memicu karyawan untuk bekerja lebih profesional dan progresif untuk mencapai pertimbangan-pertimbangan karier dan kesejahteraan. Selama ini ada anggapan dengan status PNS-nya karyawan TVRI cenderung permisif, menerima keadaan apa adanya, karena tidak berakibat banyak pada kesejahteraannya. Jenjang karier model PNS yang cenderung struktural, lambat dan berdasar sinioritas menjadikan kebanyakan karyawan ogah-ogahan untuk menunjukkan talenta dan progresivitasnya. Maka perubahan status ini dapat memicu motivasi diri tiap karyawan untuk terus berpacu melontarkan idea, gagasan dan talenta kepenyiarannya. Ini akan menumbuhkan iklim kompetitif yang kondusif yang pada gilirannya akan selalu melahirkan program-program segar dan bernas.

Keempat, TVRI mempunyai peluang yang besar untuk go public atau mendatangkan investor baru. Konsekuensi ini memungkinkan TVRI mendatangkan dana segar bagi upaya cuci darah atas berbagai bentuk ketertinggalannya dari TV-TV swasta. Entah ketertinggalan dalam hal teknologi broadcasting, ilmu pengetahuan maupun SDM. Bahkan lebih lanjut TVRI bisa mengembangkan berbagai usaha progresif yang bisa mendukung operasioanlisasi TVRI. Dengan go public TVRI mempunyai peluang besar untuk menjadi TV milik publik, yang dengan demikian memiliki khalayak dan pangsa pasar yang semakin jelas karena ada sense of belonging di imaji konsensus khalayak.

Media Konversasi Publik
Lantas apa yang dapat kita harapkan dari keempat konsekuensi prospektif dan produktif TVRI tersebut? Dengan jaringan pemancar paling luas, karyawan paling banyak, keunggulan pengalaman, dan posisinya yang netral ada banyak hal yang bisa kita harapkan dari kayuhan TVRI pasca PT di antara hegemoni karang televisi swasta yang setiap hari mengharubirui kehidupan kita.

Memang di orbit kehidupan kita telah hadir berpuluh televisi swasta dengan berbagai program tayangannya. Dan tak pelak lagi, seperti kata Neil Postman, televisi-televisi swasta tersebut telah menjadi urat nadi tumbuh kembangnya kebudayaan dan peradaban. Ada satu hal dari ruang hidup kita (dan ini maha penting) yang tidak terpenuhi oleh gebyar dan kemegahan televisi-televisi swasta tersebut. Yakni ruang komunikasi dan konversasi publik serta ruang kontemplasi publik.

Dengan berbagai ‘komodifikasi’ (persenyawaan komoditas dan simbol) tayangannya televisi-televisi swasta kita cenderung menyeret publik menjadi masyarakat penonton dengan kebudayaan tontonan. Entah melalui iklan, sinetron, telenovela, tayangan gebyar olah raga, kuis, pesta, lagu, kemegahan talk show politik maupun kecepatan berita-beritanya televisi telah menjadi media tontonan paling dahsyat. Ia menyeret penonton ke hadapannya bukan untuk terlibat aktif dalam sistem konversasi publik tidak juga untuk kontemplasi konstruktif atas berbagai fenomena dan peristiwa, tapi untuk menjadi penikmat, penonton atau penggerutu yang akan tertawa, tepuk tangan, menjerit, menangis atau menggerutu setelah tayangan usai.

Dalam lingkaran orbitasi tayangan-tayangan televisi swasta yang lebih mengarah pada desain hiburan dan kecepatan, penonton cenderung menjadi manusia-manusia pasif yang rela mengikuti sebuah alur cerita yang hingga beratus-ratus seri. Menjadi manusia diam dan pengagum yang mencermati sebuah pesta moment atau gebyar olah raga. Menjadi manusia latah atau histeris yang menyambut kegembiraan kuis-kuis dangkal. Menjadi manusia bingung yang dilanda oleh dramatisasi panggung talk show para elit dan kecepatan berita yang tumpang tindih. Menjadi manusia konsumen (informasi, produk, jasa) dan bukan produsen. Menjadi manusia pengikut (mode, trend) dan bukan pemetik. Menjadi manusia pengangguk dan bukan manusia penunjuk. Dalam banyak hal penonton malah menjadi yang di’tonton’ oleh televisi. Sedikit sekali tayangan yang selama ini didistribusikan oleh televisi-televisi swasta yang mengajak khalayak menjadi manusia aktif, manusia yang berfikir, merenung, kontemplasi, berkonversasi dan berkomunikasi.

Persoalannya adalah televisi telah menjadi sistem konversasi publik, lebih jauh dari awal pemikiran McLuhan, the medium is the message, dalam jagad kapitalisme lanjut sekarang televisi telah menjadi the medium is the metaphor. Berbagai gambaran, citra, nilai, budaya, gaya hidup dengan kekuatan simbolik dan metaforik yang luar biasa memikat. Inilah domain hegemoni televisi swasta yang menjadi tantangan sekaligus peluang besar bagi TVRI. Ini menjadi sebuah tantangan manakala desain masyarakat kita juga tengah mengarah ke sana. Menjadi peluang manakala TVRI bisa menjadi televisi alternatif yang bisa mengajak penontonnya menjadi manusia aktif. Yang memiliki peluang berbincang, peluang repersentasi diri secara kultural.

Dengan segala kelebihannya di atas mestinya TVRI bisa menjadi media konversasi publik, tidak sekedar menjadi medan konversasi elit. Segala domain wilayah, kelas dan kultural mempunyai kesempatan dan akses yang sama, hingga dimungkinkan tumbuhnya kultur perbincangan yang komunikatif. Karena seperti kata Habermas, sesungguhnya publik tidak hnya butuh hal-hal yang bersifat instrumental (hiburan, kenampakan, teknis, empiris dan fisik) tapi juga butuh hal-hal yang komunikatif (hubungan humanistik, pertumbuhan diri, keseriusan, keruntutan logik dan kedalaman). Inilah peluang besar yang bisa diisi oleh TVRI. Yakni bagaimana bisa menawarkan tayangan-tayangan komunikatif, tayangan yang sesuai dengan konteks masyarakat penontonnya serta konstruktif bagi tumbuhnya nilai-nilai dan rujukan-rujukan bagi bahan konversasi publik.

TVRI tidak harus terjebak kata pasar. Karena dalam pemahaman kapitalisme lanjut pasar bisa dibentuk. Sekarang publik memang memiliki banyak (lebih dari sepuluh) pilihan chanel televisi. Tapi chanel apapun yang ditekan tayangan yang terpampang bisa dipastikan tidak akan lepas dari sinetron, telenovela, lagu, pesta, olah raga dan kuis. Kini saatnya TVRI meyakinkan penonton ketika menekan chanel-nya apa yang terpampang adalah sebuah pilihan yang lain dari pada yang lain. Sebuah titik jenuh publik yang bisa menjadi peluang besar. Dengan begitu TVRI harus benar-benar konstruktif (bila perlu didahului riset) dalam membangun tayangan-tayangannya dan selektif (bila perlu sampai ke iklan) hingga bisa mengambil positioning dan menghasilkan citra yang menancap di kognisi publik. Bukankah sudah terbukti media cetak yang paling besar oplagnya dan paling terhormat citranya di mata publik kita adalah media cetak yang serius, cerdas, kontemplatif dan bisa menjadi medan repersentasi semua domain nilai, ideologi, kelas dan kultural. Pasar yang besar dan orbit yang luas menunggu TVRI, jika ingin menjadi seperti media cetak ternama itu.

Mochtar W. Oetomo, MA
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar