CENTROONE - Thu, 20 Sep 2012 09:49
Surabaya - Kamis (20/09) ini seluruh warga Jakarta yang
memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih dalam Pilkada DKI
Jakarta, mengikuti pencoblosan. Pencoblosan putaran kedua ini hanya
diikuti dua pasangan saja, Foke dan Jokowi.
Para pendukung masing-masing pasangan itu sudah saling melancarkan serangan, tentu saja agar bisa meraih suara terbanyak. Memang pada putaran pertama, Jokowi-Ahok meraih suara 42 persen, sementara Foke-Nara hanya 36 persen. Pada putaran pertama itu suara Foke tertinggal jauh. Saat itu memang ada beberapa pasangan lain yang bersaing hingga perolehan suaranya pun terbagi. Bahkan saat itu pasangan Foke mendapat serangan dari pasangan lain (kandidat yang kalah).
Pada putaran kedua ini, kondisinya berbalik. Partai-partai pengusung pasangan yang kalah dan selalu menghardik masa kepemimpinan Foke, kini malah merapat menjadi tim sukses Foke. Sementara Jokowi tetap setia didukung PDI Perjuangan dan Gerindra.
Jokowi sendiri tak gentar dengan bergabungnya partai-partai yang membentuk koalisi mendukung Foke. Jokowi tetap pada prinsipnya, hanya didukung dua partai dan kekuatan rakyat.
Melihat fenomena seperti itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Bangkalan Mochtar W Oetomo justru acung jempol dengan konsistensi Jokowi. Sebab tak menutup kemungkinan kekuatan rakyat itu yang mampu mengantarkan Jokowi duduk sebagai DKI Jakarta 1. Hal itu lantaran kepintaran atau tingkat kesadaran warga Jakarta yang sudah tinggi dalam menggunakan hak pilihnya.
Rakyat merasa tak mau atau tak mudah disetir elite politik partai. Jika melihat putaran pertama, banyak partai pesaing Foke yang kini justru memberikan dukungan ke calon dari incumbent itu, rakyat bisa menyadari hal itu jika itu juga bagian dari deal politik. Artinya elite partai yang akan dapat untung, sementara rakyatnya tidak sama sekali.
Dengan fenomena itu, bisa saja pemilih lebih memercayakan nasib kotanya kepada calon atau pasangan yang 'teraniaya'. Apalagi Jokowi dalam membawa Solo, cukup berhasil. Sementara janji Foke saat jadi gubernur untuk menyelesaikan masalah banjir, belum dirasakan warganya.
Pasangan Jokowi bisa saja dinilai sebagai pasangan yang tidak mengobral uang. Hal ini bisa menciptakan simpati politik.
"Kekuatan rakyat jika benar-benar bisa diwujudkan Jokowi-Ahok, maka sangat mungkin mengantarkan mereka jadi peraih suara terbanyak dalam Pilkada itu. Karena itu, kekuatan pasangan itu harus benar-benar dimaksimalkan," ujar Mochtar.
Akibatnya, jika Foke menang, tetap saja tak berpengaruh pada Jokowi karena pria kurus ini masih bisa meneruskan jabatannya sebagai Wali Kota Surakarta. Sementara jika Jokowi yang menang, tentu Foke tak memiliki jabatan lagi sebagai pemimpin daerah. Artinya dalam Pilkada Jakarta ini, Jokowi tetap untung walau menang atau kalah.
�
Oleh: Windhi Ariesman - Editor: Masruroh
Para pendukung masing-masing pasangan itu sudah saling melancarkan serangan, tentu saja agar bisa meraih suara terbanyak. Memang pada putaran pertama, Jokowi-Ahok meraih suara 42 persen, sementara Foke-Nara hanya 36 persen. Pada putaran pertama itu suara Foke tertinggal jauh. Saat itu memang ada beberapa pasangan lain yang bersaing hingga perolehan suaranya pun terbagi. Bahkan saat itu pasangan Foke mendapat serangan dari pasangan lain (kandidat yang kalah).
Pada putaran kedua ini, kondisinya berbalik. Partai-partai pengusung pasangan yang kalah dan selalu menghardik masa kepemimpinan Foke, kini malah merapat menjadi tim sukses Foke. Sementara Jokowi tetap setia didukung PDI Perjuangan dan Gerindra.
Jokowi sendiri tak gentar dengan bergabungnya partai-partai yang membentuk koalisi mendukung Foke. Jokowi tetap pada prinsipnya, hanya didukung dua partai dan kekuatan rakyat.
Melihat fenomena seperti itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Bangkalan Mochtar W Oetomo justru acung jempol dengan konsistensi Jokowi. Sebab tak menutup kemungkinan kekuatan rakyat itu yang mampu mengantarkan Jokowi duduk sebagai DKI Jakarta 1. Hal itu lantaran kepintaran atau tingkat kesadaran warga Jakarta yang sudah tinggi dalam menggunakan hak pilihnya.
Rakyat merasa tak mau atau tak mudah disetir elite politik partai. Jika melihat putaran pertama, banyak partai pesaing Foke yang kini justru memberikan dukungan ke calon dari incumbent itu, rakyat bisa menyadari hal itu jika itu juga bagian dari deal politik. Artinya elite partai yang akan dapat untung, sementara rakyatnya tidak sama sekali.
Dengan fenomena itu, bisa saja pemilih lebih memercayakan nasib kotanya kepada calon atau pasangan yang 'teraniaya'. Apalagi Jokowi dalam membawa Solo, cukup berhasil. Sementara janji Foke saat jadi gubernur untuk menyelesaikan masalah banjir, belum dirasakan warganya.
Pasangan Jokowi bisa saja dinilai sebagai pasangan yang tidak mengobral uang. Hal ini bisa menciptakan simpati politik.
"Kekuatan rakyat jika benar-benar bisa diwujudkan Jokowi-Ahok, maka sangat mungkin mengantarkan mereka jadi peraih suara terbanyak dalam Pilkada itu. Karena itu, kekuatan pasangan itu harus benar-benar dimaksimalkan," ujar Mochtar.
Akibatnya, jika Foke menang, tetap saja tak berpengaruh pada Jokowi karena pria kurus ini masih bisa meneruskan jabatannya sebagai Wali Kota Surakarta. Sementara jika Jokowi yang menang, tentu Foke tak memiliki jabatan lagi sebagai pemimpin daerah. Artinya dalam Pilkada Jakarta ini, Jokowi tetap untung walau menang atau kalah.
�
Oleh: Windhi Ariesman - Editor: Masruroh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar