1. Latar belakang
Zaman
modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes.Tentu
saja pertanyaan ini bermaksud menyederhanakan permasalahan, Kata modern disini
hanya digunakan untuk menunjukan suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat
berbeda, bahkan berlawanan, dengan corak pada abad pertengahan Kristen.Corak
utama filsafat modern yang dimaksud disini adalah dianutnya kembali
Rasioanlisme seperti pada masa yunani kuno.Gagasan itu, disertai oleh argument
yang kuat, diajukan oleh Descartes.Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes
sering juga disebut bercorak Renaissence. Apa yang lahir kembali itu ?ya,
rasionalisme yunani itu. Yang harus diamati disini adalah apakah konsekuensi
Rasionalisme pada masa yunani akan terulang kembali.
2. Manfaat dan tujuan makalah
Filsafat ilmu adalah
merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi
dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di
sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi.
Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan
bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana
konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan
serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari
sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran
yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan
model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
PENGENALAN PARAH TOKOH
1.
Siapakah Rene Descartes ?
Descartes lahir di La Hayee, Touraine, pada 31 Maret 1596. Di usia 9 tahun ia
belajar logika, filsafat, fisika, etika, dan matematika di La Fleche, sebelum
kemudian belajar hukum di Universitas Poitiers sampai tahun 1616. Konon ia juga
sempat belajar ilmu kedokteran di tempat yang sama. Selama dua tahun
(1617-1619) hidup di Belanda, Descartes membangun korespodensi dengan
pemikir-pemikir besar eropa, seperti Hobbes, Moore, dan Arnauld. Descartes
meninggal pada Februari 1650 dengan meninggalkan karya-karya monumental,
seperti Discours de La Methode (1637), Meditationes de Prima Philosophia (1641), Principia Philosophiae (1644), The passions of Soul, The World (tidak
dipublikasikan), dan banyak lagi. Dua karya pertama Descartes (Discourse dan Meditationes) banyak diminati para
ilmuwan karena keduanya menuangkan gagasan Descartes tentang Cartesian Doubt (Metode Keraguan
Descartes), yang sering disebut Cogito
Descartes atau Cogito saja.
2. Siapakah david hume ?
David Hume (lahir 26 April 1711 – meninggal 25 Agustus 1776 pada umur 65 tahun)adalah filsuf Skotlandia, ekonom, dan sejarawan. Dia dimasukan sebagai salah satu
figur paling penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia.Walaupun kebanyakan ketertarikan karya Hume berpusat
pada tulisan filosofi, sebagai sejarawanlah dia mendapat pengakuan dan
penghormatan. Karyanya The History
of England merupakan karya
dasar dari sejarah Inggris untuk 60 atau 70 tahun sampaiKarya Macaulay.
Hume merupakan filsuf besar pertama dari era modern yang
membuat filosofinaturalistis. Filosofi ini sebagian mengandung penolakan atas
prevalensi dalam konsepsi dari pikiran manusia merupakan miniatur dari
kesadaran suci; sebuah pernyataan Edward Craig yang dimasukan dalam doktrin
'Image of God'.Doktrin ini diasosiasikan dengan kepercayaan dalam kekuatan akal
manusia dan penglihatan dalam realitas, dimana kekuatan yang berisi seritikasi
Tuhan. Skeptisme Hume datang dari penolakannya atas ideal di dalam.
3. Siapakah Immanuel kant ?
Immanuel Kant dilahirkan pada tahun 1724 di Königsberg
dari pasangan Johann Georg Kant, seorang ahli pembuat baju zirah (baju besi), dan Anna Regina Kant. Ayahnya kemudian dikenal sebagai ahli
perdagangan, namun di tahun 1730-1740, perdangangan di Königsberg mengalami
kemerosotan. Hal ini memengaruhi
bisnis ayahnya dan membuat keluarga mereka hidup dalam kesulitan. Ibunya meninggal saat Kant berumur 13
tahun, sedangkan ayah Kant meninggal saat dia berumur hampir 22 tahun.
Pendidikan dasarnya ditempuh Kant di Saint George's
Hospital School, kemudian dilanjutkan ke Collegium Fredericianum, sebuah
sekolah yang berpegang pada ajaran Pietist. Keluarga
Kant memang penganut agama Pietist, yaitu agama di Jerman yang mendasarkan keyakinannya pada
pengalaman religius dan studi kitab suci. Pada
tahun 1740, Kant menempuh pendidikan di University of Königsberg dan
mempelajari tentang filosofi, matematika, dan ilmu alam. Untuk
meneruskan pendidikannya, dia bekerja sebagai guru privat selama tujuh tahun
dan pada masa itu, Kant mempublikasikan beberapa naskah yang berkaitan dengan
pertanyaan ilmiah. Pada tahun
1755-1770, Kant bekerja sebagai dosen sambil terus mempublikasikan beberapa
naskah ilmiah dengan berbagai macam topik. Dan
hingga Gelar profesor didapatkan Kant di Königsberg pada
tahun 1770.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN(Rene Descartes, david Hume, Immanuel Kant )
Rene Descartes
Untuk sampai pada pernyataan
Descartes tentang Cogito Ergo Sum, kita harus melewati proses pemikiran
Descartes tentang keraguan sebagai titik tolak menemukan titik kepastian. Dia
mulai dengan keraguan. Menurut Descartes, sekurang-kurangnya aku ragu bukanlah
hasil tipuan. Semakin kita dapat meragukan segala sesuatu, kita semakin
mengada.Justru keraguann inilah yang membuktikan kepada diri kita bahwa kita
ini nyata. Selama kita ragu, kita akan merasa makin pasti bahwa kita
nayat-nyata ada. Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa meragukan itu adalah
berpikir. Maka kepastian akan eksistensiku dicapai dengan berpikir. Descartes
kemudian mengatakan; “aku berpikir, maka aku ada”.
Yang ditemukan dengan metode keraguan adalah
kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran diri.Cogito
itu kebenaran dan kepastian yang tak tergoyahkan karena aku mengertinya secara
jelas dan terpilah-pilah.Cogito itu tidak ditemukan dengan reduksi dari
prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi.Kedua metode tradisional ini bisa
dipakai untuk membenarkan wahyu, padahal yang disebut wahyu itu bisa
disangsikan dan filsafat tidak mengizinkan ketidakpastian. Cogito ditemukan
dirinya sendiri., tidak melaui Kitab Suci, dongeng, pendapat orang, prasangka,
dst. Kesangsian Descartes sedemikian radikal, tetapi kesangsian ini hanya
sebuah metode yang ditemukan baru, dia sebetulnya tertap memiliki minat metafisik.Keraguan
ini bersifat metodis dan bukan sebuah skeptisisme seperti dalam pemikiran Hume.
Lebih lanjut Descartes memberikan argumentasi
tentang pembutkian adanya Tuhan.Setelah menemukan cogito, yakni subjektivitas,
pikiran atau kesadaran melaui kesangsian metodis.Descartes lalu menyebut
pikiran sebagai ide bawaan yang sudah melekat sejak kita dilahirkan ke dunia
ini.Dia mneyebutnya “res cogitans”.Dalam kenyataan, aku ini bukan hanya
pikiran, tetapi juga sesuatu yang bisa di raba dan dlihat.Kejasmianku ini bisa
saja merupkan kesan yang menipu, tetapi bahwa kesan itu ada sejak lahir,
meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa kejasmian juga merupakan
sebuah ide bawaan.Descartes menyebutnya keluasan atau res extensa.Akhirnya dia
juga berpendapat bahwa aku juga memiliki ide tentang sempurna.Lalu, dia
mengatakan bahwa bahwa Allah juga merupkaan ide bawaan. Di sinilah ia
membuktikan tentang adanya Allah. Tentang keluasan atau kejasmanian, dia
berpendapat mustahil Allah yang maha benar itu menipu kita tentang adanya
kejasmanian.Karena itu, materi adalah juga suatu substansi.Akhirnya, Allah
sendiri suatu substansi, maka Allah itu ada.Menyimpulkan bahwa kita memiliki
idea Allah, maka Allah ada, disebut argumen ontologis.Di sini Descartes
termasuk filsuf yang membuktikan adanya Allah sejalan dengan Anselmus dan
Thomas. Lebih dari itu, iasebetulnya mengandaikan bahwa adanya Allah menjadi
ukuran segala pengetahuan, termasuk menjamin aku yang menyangsikan dapat
mencapai kebenaran.
david Hume
Hume merupakan puncak aliran empirisme.baginya dan
tokoh lain, pengalaman (empirea) lebih dari pada rasio sebagai sumber
pengetahuan, baik pengalaman intern maupun ekstern. Menurutnya, semua ilmu berhubungan dengan
hakekat manusia. Ilmu inilah yang merupakan satu-satunya dasar kokoh bagi
ilmu lain.
Seperti John Lock yang bermadzhab empirisme, ia
memiliki perbedaan pendapat. Menurutnya, pemahaman manusia dipengaruhi sejumlah
kepastian dasar tertentu mengenai dunia eksternal, mengenai masa depan,
mengenai sebab dan bahwa kepastian-kepastian ini merupakan bagian naluri
alamiah manusia, yang tidak dihasilkan ataupun bisa dicegah oleh akal budi atau
proses pemikiran manusia, dengan naluru alamiah manusia, manusia bisa mencapai
kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahuan manusia.
Hume juga menyatakan bahwa semua pengetahuan dimulai
dari pengalaman indra sebagai dasar. Kesan (impression) bagi Hume, sama dengan
penginderaan (sensasional) pada Lock, adalah basis pengetahuan. Semua persepsi
jiwa manusia terbentuk melalui dua alat yang berbeda, yaitu impression dan
idea.Perbedaan keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju
kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasi nafsu,
emosi termasuk kategori ini begitu masuk kedalam jiwa.Sedangkan idea adalah
gambaran kabur (faint mage) tentang persepsi yang masuk tadi ke dalam pikiran.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami
hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan.
Kesan adalah hasil pengideraan langsung, sedangkan gagasan adalah ingatan akan
kesan-kesan seperti itu. Misal ada sebuah benda dengan ciri-ciri : putih,
licin, ringan, tipis. Atas dasar ciri-ciri tersebut tidak dapat disimpulkan,
bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri
tadi.Bahwa didunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kertas
itu mengapa muncul gagasan kertas, bukan yang lain? Bagi Hume, “aku” tidak lain
hanyalah “ a budle collection of perceptions “ (kesadaran tertentu )”.
Hume juga tidak mengakui bahwa adanya kausalitas
atau hukum sebab akibat.Pada umumnya orang berpedapat, bahwa penyimpulan
soal-soal yang nyata tampaknya didasarkan atas hubungan sebab akibat. Kita
menuangka air pada bejana, kemudian di bawah bejana itu kita nyalakan api.
Setelah beberapa waktu air itu mendidih.Apa yang diberitahukan oleh pengamatan
kita? semula pengamatan mendapatkan kesan gejala pertama, yaitu air bejana.
Setelah beberapa waktu pengamatan mendapat gejala yang kedua, yaitu air
mendidih.
Oleh karena
kesan bejana yang kedua itu kita terima setelah ada api dibawah bejana padahal
kesan itu terus menerus kita terima jikalau ada api ditempatkan dibawah bejana
yang berisi air, timbullah asosiasi tertentu, yang menjadikan akal kita
cenderung berpendapat seolah-olah api itulah yang menghubungkan air dingin dengan
air mendidih. Hubungan ini kita anggap sebagai suatu hal yang pasti.Yang
disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh
dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas,
sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu
sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika
kita bicara tentang “ hukum alam“ atau “ sebab – akibat”, sebenarnya kita
membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang
lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
David Hume juga menolak membagi persepsi menjadi
dua, persepsi sederhana (simple) yaitu
persepsi yang tidak bisa dibagi seperti ketika melihat merah, bulat, dan
persepsi ruwet ( kompleks ) seperti idea apel yang memerlukan idea yang susunan
dan asosiasinya kompleks. Karenanya untuk mengetahui kebenaran sebuah
pengetahuan maka harus diuraikan idea yang kompleks menjadi idea-idea
sederhana, dan kemudian menemukan kesan yang merupakan basis idea tersebut. Oleh karena itu metode
Hume tidak bisa digunakan untuk persoalan metafisika seperti Tuhan karena tidak
mempunyai basis pengalaman dan tidak bisa mempunyai basis berupa hubungan
antara idea yang dapat didemonstrasikan
melalui logika sederhana atau pembuktian matematis.
Di dalam etikanya, Hume membuang segala bentuk
kausalitas, sebab akal hanya dapat menunjuk kepadanya hanya kesesuaian antara
suatu perbuatan tertentu dengan defacto.Pada hakikatnya pemikiran Hume bersifat
analisis, kritis, dan skeptis. Ia berpangkal pada keyakinan bahwa hanya
kesan-kesanlah yang pasti, jelas, dan tidak diragukan, dari situlah ia sampai
pada keyakinan bahwa “ aku “ termasuk dunia hayalan. Berarti, dunia terdiri
dari kesan-kesan yang terpisah-pisah yang dapat disusun secara obyektif,
sistematis, karena tiada hubungan sebab-sebab diatara kesan-kesan itu.
Immanuel Kant
Yang mendasari pemikiran Kant tentang metafisika
adalah adanya konflik antara dua aliran, yakni empirisme dan rasionalisme
mengenai bagaimana ilmu pengetahuan itu dimengerti.Menurut aliran rasionalisme,
sumber ilmu pengetahuan adalah akal budi; yang menekankan pentingnya matematika
dalam ilmu pengetahuan ilmiah.Filosof penganut aliran ini adalah Descartes
(1596-1650), Spinoza (1632-1677) dan Leibniz (1646-1716).Sedangkan menurut
aliran empirisme, sumber dari ilmu pengetahuan adalah pengalaman; yang
menekankan pentingnya eksperimen dalam ilmu pengetahuan ilmiah.Filosof penganut
aliran ini adalah Locke (1632-1704), Newton (1642-1727) dan Hume (1711-1776).
Yang dilakukan oleh Kant antara lain adalah:
(1) menyatukan rasionalisme dan empirisme, yakni
dengan menunjukkan bagaimana pengetahuan (ilmiah) adalah sesuatu yang eksis,
dan bahwa akal budi serta pengalaman mempunyai kontribusi atas pengetahuan tersebut
(2) untuk menolak skeptisisme dari Hume yang
menyatakan bahwa pengalaman itu secara ekstrim terbatas pada jenis pengetahuan
apa yang dapat memberikannya.
Menurut
Kant dalam bukunya The Critique of Pure Reason, akal budi manusia di dalam
suatu lingkungan kognisinya mempunyai hakikat sedemikian rupa, sehingga manusia
tidak tahan untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia yang
sesuai dengan hakikat akal budi-nya, yang tak akan pernah mereka ketahui
jawaban-jawabannya. Akal budi manusia memulai sesuatu dengan prinsip-prinsip
yang tidak dapat disalurkan lewat pengalaman, dimana pada waktu yang sama
pengalaman dapat memastikan kebenaran. Dengan prinsip-prinsip tersebut, akal
budi manusia bangkit. Namun dengan cepat ditemukan bahwa kerja akal budi
manusia tidak pernah selesai, karena pertanyaan-pertanyaan baru tidak akan
pernah berhenti untuk menunjukkan dirinya; Dengan demikian akal budi manusia
terdorong untuk meminta pertolongan kepada prinsip-prinsip yang sebenarnya
melebihi wilayah pengalaman, dan juga tidak dapat dipercayai oleh pandangan
umum. Hal ini yang kemudian menjadi kekacauan dan kontradiksi, dimana akal budi
manusia diduga memiliki kesalahan yang tersembunyi yang tidak dapat ditemukan,
karena prinsip-prinsip yang dianutnya tadi melebihi batas dari pengalaman, yang
tentunya tidak dapat diuji melalui patokan itu.Arena dari kompetisi antara akal
budi dan pengalaman yang tidak berujung inilah yang dinamakan metafisika.
Ada dua
pengertian metafisika, menurut Kant: Metafisika yang pertama adalah pengetahuan
spekulatif tentang realitas yang supersensibel dan tak bersyarat. Inilah
pengertian metafisika kuno yang dibongkar dalam The Critique of Pure
Reason.Sedangkan metafisika yang hendak dibangun Kant adalah “metafisika
sebagai sains”, yakni inventarisasi seluruh pengetahuan yang diperoleh dengan
akal budi murni dan tertata secara sistematis. Metafisika sebagai sains terdiri
dari dua bagian: metafisika alam, yakni yang berisikan seluruh prinsip a priori
tentang “apa”; dan metafisika moral, yang berisikan seluruh prinsip a priori
tentang “apa yang seharusnya”. (lihat a priori di paragraf sesudahnya)
Beberapa
istilah teknis yang digunakan Kant:
(1) Kebenaran a priori (secara etimologis berarti
“dari hal yang lebih dulu”), yakni kebenaran yang independen dari pengalaman
atau kebenaran yang datang sebelum kita berinteraksi dengan objek. Kebenaran
ini memiliki validitas universal dan niscaya (necessary), misalnya: kebenaran
matematis bahwa 1+2=3;
(2) Kebenaran a posteriori (secara etimologis
berarti “dari hal yang lebih kemudian”), yakni kebenaran yang didasarkan atas
pengalaman atau kebenaran yang datang sesudah kita berinteraksi dengan objek.
Misalnya: anjing itu menggonggong
(3) Proposisi Analitis, yakni proposisi dimana
konsep predikatnya terdapat dalam konsep subjeknya. Misalnya dalam proposisi
“Setiap orang menempati ruang”, konsep dari menempati ruang, dinyatakan dalam
sebuah analisis dari karakteristik orang.Menurut para filosof sebelum Kant,
dalam proposisi ini, kebenarannya hanya bisa diketahui secara a priori. Dan ini
berarti jika proposisi itu benar maka kebenarannya bersifat niscaya dan dan
tidak tidak bergantung dari pengalaman untuk membuktikan status kebenaran itu
(4) Proposisi Sintesis, yakni proposisi dimana
konsep predikatnya tidak ditemukan dalam konsep subjeknya. Misalnya dalam
proposisi “Pohon ini tingginya 2 meter”.Proposisi ini telah tersintesiskan,
dalam artian konsep-konsep didalamnya telah menyatu menjadi sebuah proposisi
baru dan tidak ditemukan dalam konsep individual manapun. Proposisi ini
bersifat kontingen, yang berarti bahwa proposisi tersebut bisa benar atau salah
sehingga kebenarannya hanya bisa diketahui secara a posteriori, dengan kata
lain kebenarannya ditentukan oleh pembuktian dari pengalaman. Kant
memperkenalkan kategori proposisi signifikan yang ketiga, yakni: yang bersifat
sintesis a priori. Menurut Kant, proposisi yang bersifat sintesis a priori
merupakan proposisi yang sifatnya benar tanpa memerlukan pertimbangan dari
pengalaman. Lebih jauhnya, proposisi yang bersifat sintesis a priori seperti
misalnya: “Segala sesuatu pasti memiliki sebab”, tidak pernah bisa dibuktikan
oleh para penganut aliran empirisme karena mereka telah telah terdoktrin bahwa
“pasangan” dari sintesis adalah posteriori dan sebaliknya, “pasangan” dari
analitis adalah apriori. Begitu juga dengan penganut aliran rasionalisme.Mereka
terlalu terpaku dengan rangkaian istilah tersebut, sehingga mereka seringkali
salah. Seperti misalnya dalam proposisi “Diri sendiri merupakan zat tunggal”
(The self is a simple substance), mereka mengira bahwa proposisi tersebut dapat
dibuktikan secara analitis a priori tapi ternyata tidak. Kant berargumen, bahwa
proposisi yang bersifat sintesis a priori memerlukan sejumlah macam bukti
dibandingkan proposisi yang sifatnya analitis a priori atau sintesis a
posteriori.Petunjuk dari bagaimana melakukannya, menurut Kant, dapat ditemukan
dalam sejumlah proposisi yang ada dalam ilmu pengetahuan alam dan matematika.
Proposisi geometris seperti “Sudut-sudut dari segitiga selalu berjumlah 180°”
merupakan sesuatu yang diketahui secara a priori, namun hal tersebut tidak
hanya diketahui dari sebuah analisis atas konsep segitiga saja. Kita harus
“pergi keluar dan melebihi konsep... menggabungkan hal tersebut ke dalam
pemikiran yang bersifat a priori, dimana kita tidak mempunyai pemikiran itu.”
Inovasi Kant secara metodologis adalah dengan
menggunakan apa yang ia sebut sebagai argumen transendental untuk membuktikan
proposisi yang bersifat sintesis a priori. Salah satu argumennya adalah “ada
realitas yang eksis di dalam waktu dan tempat diluar diriku”, yang tidak bisa
dibuktikan baik secara a priori maupun posteriori.Menurutnya, ada sebuah
realitas yang bersifat independen dan diluar pengalaman manusia.
Ia menyebut realitas itu sebagai dunia noumena—yakni
dunia realitas dalam-dirinya-sendiri. Sedangkan dunia yang tampak dihadapan
kita adalah dunia fenomena—yakni dunia yang ditangkap oleh pengalaman indera
kita. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang sifatnya
permanen diluar dirinya, yang tidak dapat dijangkau oleh dirinya sendiri.
KESIMPULAN PEMIKIRAN
(Rene Descartes, david Hume, Immanuel Kant )
Dengan mempelajari proses dan model para filsafat
zaman modern sebagaimana disampaikan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa kita
harus memahami apa yang telah terjadi dari penjelasan-penjelasan filsafat zaman
modern menurut beberapa aliran-aliran.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama,tidak juga dari
para penguasa,tetapi dari diri manusia sendiri namun aliran rasionallisme
beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio kebenaran dari rasio (akal).
Kritik
Pada Pandangan
dualistis Descartes tentang manusia mewariskan kesulitan dalam melihat relasi
timbal-balik jiwa dan badan.Di sisi lain, cogito pun mendatangkan persoalan
mendasar, karena kebenaran pikiran atau kesadaran melukiskan seolah-olah kenyataan
di luar kesadaran—lukisan belum tentu menampilkan kenyataan.Antara pikiran dan
kenyataan masih ada jurang menganga.
Saran
Kelompok kami sebagai penulis makalah ini menyatakan
siapapun yang membaca makalah ini dapat memahami pengertian dan memahami model
dan konsep filsafat zaman modern.
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menciptakan pemilihihan kepemimpinan yang
baik,dan semoga makalah ini memberikan dorongan, semangat, bahkan pemikiran
para pembaca,dengan makalah ini menjadi pedoman kaidah yang baik.
Demikianlah penjelasan tentang filsafat zaman modern, bila kiranya ada salah
dalam penulisan kata-kata kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat
Bagi kita semua.
BY.. nofianto
puji imawan, haikal, hery amaryansyah, toto pratomo, dan syid husain (mahasiswa prodi komunikasi FISIB universitas trunojoyo
madura)
DAFTAR PUSTAKA
Bagley, Paul J., 1996. "On the moral philosophy of Rene
Descartes", dalam TFil (Tijdschrift voor Filosofie) No. 58; hal.673-696.
Bertens, K., 1986. Panorama Filsafat Modern.
Jakarta: Gramedia.
Brouwer, M,A.W., 1980. Sejarah Filsafat Modern dan Sejaman. Bandung:
Penerbit Alumni.
Conway, Michael A., 2000. Faith and reason in Rene Descartes (1596-1650):
an
appreciation and critique from Maurice Blondel, dalam Gr (Gregorianum)
No. 83; hal. 111-130.
Descartes, R - The Rationalists: Rene Descartes (transl. by John Veitch).
Garden City: Dolphin Books.
Dister, Nico Syukur, 1992."Descartes, Hume dan Kant, Tiga Tonggak
Filsafat Modern" dalam FX.Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (Editor).
Para Filsuf Penentu Gerak Zaman; hal 55- 71.Yogyakarta: Kanisius.
Duden, 2001.Philosophie. Mannheim: Duden Verlag.
Hamersma, Harry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta:
Gramedia.
Hardiman, F. Budi, 2003. Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai
Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hirschberger, Johannes, 1980. Geschichte der Philosophie Band II (Neuzeit
und Gegenwart). Köln: Komet.
Koesno, F.X., 1987. "Rene Descartes (1956-1950)", dalam MaDi
(Mawas Diri) No. 16; hal.19-22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar