Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai
abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi
sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran
bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran
yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme.
Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan
intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of
medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan
realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu
itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari
penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu
Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang
menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan
meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori
gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja
dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan
pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa
juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul
Social Contak.
Hal berbeda terjadi
didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari
keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali
pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul
ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan
umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal
tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang
berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman
modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran
agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun
tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme
beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari
rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber
pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme
dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la
Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar
kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara
metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal
ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka
kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat
diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa
“aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan
adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah
“cogito ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran
yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku
mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”,
“clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus
diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan
kebenaran.
Descartes adalah
pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua
pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata
dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut
dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu
pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor
para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal
dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana
kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh
ImanuelKant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua
pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita
tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor
yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti
seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu
seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua
unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang
pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita
ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah
cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang
kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang
tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu
sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan
antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili
Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.
RENE DESCARTES (1596 – 1650 M)
a. Riwayat Hidupnya
Descartes
adalah filsuf Perancis yang dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 M di wilayah
Tourine, Perancis. Ia mempelajari bahasa- bahasa kuno, sastra (prosa dan
syair), geografi, sejarah, astronomi, filsafat dan teknologi. Setelah mendapat
gelar strata satu di bidang hukum, ia mengabdikan dirinya di dunia militer. Setelah
itu, ia keluar dan mulai berkelana di Eropa selam sembilan tahun. Ia memikirkan
bagaimana menyelesaiakan persoalan-persoalan ilmu alam dengan matematis. Rene
Descartes berhasil menemukan ilmu Makanika-Analitik, dimana ia dapat
mengungkapkan bentuk-bentuk mekanis dengan kode-kode ilmu aljabar.
Descartes
memegang bendera reformasi dan inofasi kajian filsafat abad XVII M. Ia
melandaskan filsafatnya atas asas spontanitas dan keyakinan positif dalam
matematika. Ia memanfaatkan metode matematis yang kaidah-kaidahnya dibatasi
sendiri olehnya. Ia ingin menerapkan hal itu di semua cabang ilmu pengetahuan,
agar tekbukti adanya kecermatan dan keyakinan ilmu-ilmu matematis pada
ilmu-ilmu lain tersebut. Demikianlah Descartes mendeklarasikan trend
rasionalisme pada masa modern. Trend inilah yang dulu dibawa Plato pada zaman
klasik sehingga
kerena itulah descartes pantas mendapatkan julukan “Bapak Filsafat Modern
Eropa”
Riwayat hidupnya
David hume dilahirkan di kota
Edinburg,Skotlandia.Sejak usia muda,ia sangat mengandrungi filsafat,yang
karenanya ia mengorbankan pendalaman ilmu hukum yang seharusnya dikehendaki
oleh keluarganya,serta mengorbankan bisnisnya.Hume berkeinginan kuat untuk membangun
satu madzhab filsafat yang mampu menyamai ilmu-ilmu alam secara tepat dan
akurat dengan bentuan metode deduktif-ekperimental.Hume menulis beberapa buku
tentang filsafat,agama dan sejarah.
Namun yang menjadi perhatian kita
berkaitan dengan objek kita disini adalah Bukunya yang berjudul philosophical Essays Concerning Human Understanding dalam dan lisnya pada
tahun 1748 M.Tak
ada yang meragukan bahwa Hume termasuk oarang yang paling dalan dan cermat
dalam mengkaji karakter manusia.Hume boleh berbangga karena dialalah yang
membangkitkan Immanuel kant,seorang filsuf kritis dan dia pila yang
mengarahkannya menulis tiga buku kritisnya.
IMMANUEL KANT ( 1723-1804 M )
Riwayat Hidupnya
Sokrates adalah seorang ilmuwan yang
sangat penting dalam filsafat yunani,sehingga filsafat yang ada sesudahnya
sangat terpengaruh oleh pandangan,orientasi serta metodenya,kemudian pula
dengan descartes.ia dipandang sebagia bapak filsafat Eropa Modern sekaligus
dinobatkan sebagai garis dekarmasi antara filsafat klasik dan filsafat
modern.Akan tetapi,Immanuel kant melakukan terobosan orientasi baru dalam
pemikiran yang kemudian mendominasi pemikiran pada abad ke-19M.Immanuel kant di
lahirkan di Konigsberg Prusia,dari keluarga yang miskin,tapi sangat saleh dan
mulia.Kant belajar di sekolah Teologia dan sangat menyenangi kajian-kajian alan
dan astrologi termasuk kajian filafat.Setelah berhasil meraih dua gelar
akademis,ia mulai menyibukan diri mengajar di universitas sebagai dosen luar
biasa (1755M ).Ia melakukan itu selama 14 tahun,sebelum akhirnya meningkat
menjadi profesor ( guru besar) bidang logika.
Karya-karyanya
memberi suatu perubahan dan bentuk baru dalam cara berfikir yang dituangkan
dalam bentuk filsafat kritis (Kritisisme). Beberapa karya Kant yang telah
menegakkan popularitasnya antara lain :
- Kritik der Reiner Vernunf/ Critique of Pure Reason, 1781 M (Kritik Atas Rasio Murni)
- Prolegomena zu Einer Jeden Kunftigen Metaphysik/Prolegomena to Any Future Metaphisics, 1783 (Pengantar Metafisika Masa Depan)
- Idea for Universal History, 1784 M
- Grundlegung zur Metaphysik der Sitten/Groundwork of The Metaphysic of Morals, 1785 (Pendasaran Metafisika Kesusilaan)
- Metaphysical Faundations of Normal Science, 1786 M. (Pendasaran Metafisika Pengetahuan Alam)
- Kritik der Praktischen Vernunft/Critique of Practical Reason, 1787 M (Kritik Atas Rasio Praktis)
Di antara
karya-karya Kant tersebut, tiga karya terbesar sehingga filsafatnya disebut
dengan Kritisisme antara lain Critique of Pure Reason (1781), Critique
of Practical Reason (1787 M) dan Critique of Judgement (1790).
Kant mampu menciptakan suatu pola ( Model ) filsafat yang dianggap
paling mengagumkan dalam filsafat modern.ada tiga buku besarnya yang menjadi
penopang kesuksesannya ini,yaitu: Kritik akal murni( Critique of pure reason),Kritik akal praktis ( Critique of pratical reason ),dan Kritik hume ( Critique of judgament) ketika kita
menyebutkan ketiga buku itu,maka wajarlah jika kita menetapkan bahwa
sesungguhnya buku-buku yang ditulisnya sangat banyak dengan berbagai objek
pembahasanya.
PEMIKIRAN TOKOH TERSEBUT MEMANDANG DUNIA
PEMIKIRAN DESCARTES
TEORI TENTANG PENGETAHUAN
Rene Descartes adalah seorang filsuf yang
menganut paham rasionalis. Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber
pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Descartes mengatakan
bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh
sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena
sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang
lain yang ditanamkan melalui pendidikan.
Pada masa mudanya, Descartes berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang pertama.
Pada masa mudanya, Descartes berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang pertama.
Dalam buku Filsafat dan Iman Kristen 1
diakatakan bahwa prinsip pertama Descartes memutuskan “tidak akan pernah mau
menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu
memang benar demikian”. Tujuannya adalah agar manusia tidak terperangkap dengan
semua pengetahuan yang salah yang diterimanya selama ini dari luar dan berusaha
untuk mencari kebenaran yang pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu
sendiri sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang salah.
Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
a.
Tidak pernah menerima apapun sebagai benar
kecuali jika saya mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar,
artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan
praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil
sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada
kesempatan untuk meragukannya.
b.
Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya
telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang
diperlukan, untuk memudahkan penyelesaiannya.
c.
Berpikir secara runtut dengan mulai dari
objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat
sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan
menata dalam urutan objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
d.
Membuat perincian yang selengkap mungkin dan
pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang
terlupakan.
Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa
sebenarnya keempat prinsip di atas bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
Descartes (dalam Brown, 2005, hal.30) mengatakan, “rantai panjang dari
pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu
ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang
paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh
pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang
sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga
berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak
dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang
salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang
perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang
lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes
menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa
tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia
mau menggunakan nalarnya.
Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang
benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan
ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan
segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada
kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya
juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita
sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui
dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.
Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa
meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat
diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta
bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun
atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan
bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka
haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka
dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama
sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia
berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal
ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “cogito ergo sum” yang
artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip
pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang
Metode.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat
Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal
oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang
murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala
sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih
terperinci sehingga lebih jelas dan benar.
KONSEP TENTANG NATUR MANUSIA
Rene Descartes mengemukakan ide tentang
soul-body, melahirkan Cartesian dualisme yang sangat populer
dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
·
Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas
yang berbeda dan terpisah dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena
ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada
manusia.
·
Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk
pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun
pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.
Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan
untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya
makhluk yang secara intelektual lebih unggul.
Kepintaran filsuf ini menjadi sia-sia ketika ia
membuat manusia menjadi pusat dan sumber kebenaran. Manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa tidak dapat menjadi sumber kebenaran, sebab kebenaran hanya
bersumber dari yang kudus, yang benar, yang tak bercacat dan yang sempurna.
Jika Descartes mencoba menjadikan manusia dengan senses dan idea yang
dimilikinya menjadi sumber kebenaran, maka itu telah menyalahi kebenaran yang
sejati. Sebab manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri.
Manusia adalah ciptaan yang tidak dapat
terlepas dari pencipta-Nya. Ada subjek
yang lebih besar yang menjadi Pencipta, yang merupakan sumber kebenaran.
Descartes terjerumus dalam rasionya.
Pemberhalaannya akan rasio telah menutup mata imannya. Ia menolak eksistensi
Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi dan sumber kehidupan. Hikmat dan
kebijaksanaan hanya datang dari Allah. Ketika manusia menolak Allah, maka
manusia tidak akan mendapatkan hikmat dan kebijaksanaan itu. Descartes yang
menolak keberadaan Allah sebagai oknum yang benar-benar ada dan berkuasa, tentu
saja tidak akan melihat kebenaran yang sejati. Ketika manusia mencoba
memikirkan bahwa Allah bukanlah oknum yang penting dalam kehidupannya, saat itu
pulalah manusia kehilangan hikmat.
TUJUAN KEHIDUPAN
Cartesian Rasionalism menurut Descartes
merupakan aplikasi yang diterapkan dalam kehidupan, termasuk dalam etika.
Descartes mengatakan bahwa tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan
hidup yang bahagia dan tujuan ini hanya dapat dicapai oleh rasio atau akal
manusia. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end
must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes - 2, 2002).
Sehingga akhir hidup manusia dikatakan benar jika sepanjang hidupnya manusia
berbuat baik. Jika seseorang berbuat baik tentu saja manusia memiliki standar
tersendiri tentang sesuatu yang baik dimana sebelumnya hal ini sudah
dirasionalisasikan terlebih dahulu.
Ditinjau dari hal-hal di atas, maka dapat
disimpulkan beberapa hal tentang akhir hidup manusia. Pertama, akhir hidup
manusia ditentukan oleh apa yang manusia lakukan, melalui akal manusia. Dari
pernyataan tersebut terlihat terdapat kontroversi atau ketidak konsistenan
Cartesian, yaitu : saat Decartes mengatakan akhir hidup manusia akan dapat
mencapai ketenangan dan kebahagiaan dengan syarat manusia harus melakukan
hal-hal yang baik, disitulah kontroversinya. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa
akhir hidup manusia dapat seperti itu, padahal ia belum pernah melihat secara
langsung akhir hidup itu sendiri.
Hal yang kedua adalah, mengenai standar
universal tentang hal yang baik yang harus dilakukan manusia. Setiap manusia
yang memiliki kehendak bebas memiliki pandangan yang berbeda akan
batasan-batasan mengenai perbuatan baik itu sendiri. Setiap manusia memiliki
standar kebenaran yang berbeda-beda dalam dirinya, jadi dunia pasti akan
berantakan jika semua orang dengan seenaknya melakukan segala sesuatu yang
dianggapnya benar tanpa memikirkan standar kebenaran dari orang lain (Ingat :
Decartes adalah filsuf yang tidak begitu concern terhadap masalah etika, tetapi
lebih kepada epstemolgis dan metafisik).
DISKUSI TENTANG TUHAN
Fokus dalam topik Discussion of God ini adalah
2 pendapat dari Descartes mengenai eksistensi Tuhan. Dua pendapat itu terbagi
dalam dua kategori, yaitu cosmological dan ontological. Berikut isi dari
keduanya yang dikutip dari buku Fifty Major Philosophers karangan Collinson
& Plant : “The first argument starts from his recognition of himself as a
being who, in virtue of his doubts, is imperfect, yet who is able to entertain
the idea of God as perfect being. This perfect idea, he maintains, can come
only from the perfect being, therefore God must exist as it source”. Pernyataan
pertama Descartes tersebut, kami menyimpulkan bahwa Descartes memulai
pemikirannya dengan mengakui dirinya sebagai seseorang (dalam keragu-raguannya)
bahwa ia tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang Allah yang
sempurna. Ide tentang “yang sempurna” itu, ia anggap hanya dapat berasal dari
“yang empunya sempurna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah
pasti/harus ada sebagai sumber ide itu, pendapat ini termasuk dalam pendapat
cosmological.
Kesempurnaan itu merupakan sesuatu yang berasal
dari yang lebih sempurna dari pada dia. Pemikiran ini juga yang diletakkan oleh
“yang sempurna” itu di dalam dirinya oleh yang Maha Sempurna, yakni Allah.
Dapat ditarik kesimpulan, eksistensi Allah adalah benar. Alasan mengapa Descartes
berani mengemukakan bahwa Allah adalah sempurna adalah karena dia mengetahui
beberapa kesempurnaan yang tidak dia miliki. Sebab ia mengetahui dan merasa
bahwa ia tidak memiliki ciri-ciri “yang sempurna” yang hanya ada pada Allah,
yakni maha tahu, abadi, tidak terbatas, tidak berubah, dan maha kuasa.
“The second of Descartes’ arguments for the
existence of God points out that the idea of a most perfect being is of a being
containing every perfection and thus being entirely real. The idea of the most
perfect being therefore contain the idea existence” (Collinson & Plant,
2006). Pendapat Descartes yang kedua mengenai eksistensi Allah mengacu pada
eksistensi dan esensi dari “perfect being” itu sendiri. Ia beranggapan bahwa
ide dari yang paling sempurna adalah makhluk yang mengandung kesempurnaan itu
sendiri. Melalui gagasan itu, akhirnya Descartes berpendapat bahwa oleh karena
Tuhan itu sempurna, maka Ia tidak akan membawa seseorang ke dalam kesalahan,
dan melalui kemampuan manusia kemudian dinyatakan menjadi pengetahuan. Di dalam
bukunya The Last Meditation pada akhirnya ia berpendapat bahwa apa yang ia
percayai sekarang dari benda-benda fisik (metafisik) adalah sesuatu yang benar
yang bukan tipuan atau kesesatan, karena itu berasal dari Tuhan yang adalah perfect
being yang tidak mungkin menipu.
“Allah tidak akan membiarkan kita berpikir bahwa pikiran kita yang jelas dan nyata adalah benar, seandainya semua itu tidak benar. Maka kita dapat benar-benar yakin bahwa segala deduksi logis kita mengenai realita adalah benar” (Brown, 2005, pg 67). Dengan demikian kebenaran dari Allah adalah jaminan untuk seluruh rangkaian ide dan pengetahuan akan segala sesuatu yang dipikirkan manusia. Jadi, tidak ada sesuatu yang terlalu tersembunyi sehingga tidak dapat ditemukan dengan pikiran manusia sejauh pengetahuan manusia mampu untuk mencapainya (sesuai yang Tuhan nyatakan), sehingga tidak ada kata menerima sesuatu sebagai kebenaran tanpa membuktikannya.
“Allah tidak akan membiarkan kita berpikir bahwa pikiran kita yang jelas dan nyata adalah benar, seandainya semua itu tidak benar. Maka kita dapat benar-benar yakin bahwa segala deduksi logis kita mengenai realita adalah benar” (Brown, 2005, pg 67). Dengan demikian kebenaran dari Allah adalah jaminan untuk seluruh rangkaian ide dan pengetahuan akan segala sesuatu yang dipikirkan manusia. Jadi, tidak ada sesuatu yang terlalu tersembunyi sehingga tidak dapat ditemukan dengan pikiran manusia sejauh pengetahuan manusia mampu untuk mencapainya (sesuai yang Tuhan nyatakan), sehingga tidak ada kata menerima sesuatu sebagai kebenaran tanpa membuktikannya.
Kami melihat konsep pemikiran Descartes
sebenarnya baik, karena memusatkan fokus akhirnya kepada Tuhan yang dia
percayai. Dengan meragu-ragukan segala sesuatu (yang mungkin sebenarnya ia
anggap benar) misalnya, teori panas ia ragu-ragukan untuk membuktikan bahwa
teori ini ada/eksis, walaupun sudah dibuktikan oleh Francis Bacon. Dari situ,
dia ingin mengatakan bahwa ia percaya akan pengetahuan yang diberikan Tuhan,
merupakan sesuatu yang benar adanya.
ETIKA
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail.
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail.
Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas
etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes
menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia,
dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya
dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this
end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes - 2, 2002).
Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia
ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia
juga harus melakukan sesuatuyangbenar.
Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes' Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes' Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Dari pemikiran Descartes, ada hal yang masih
perlu dipertanyakan kembali. Pertama, akhir hidup manusia itu dapat ditentukan
oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup
manusia). Ini bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang memerlukan bukti
dari segala sesuatu. Bagaimana Descartes bisa menjelaskan bahwa akhir hidup
seseorang akan mencapai ketenangan dan kebahagiaan jika perilakunya baik
sedangkan dia belum melihat akhir hidup seseorang itu secara langsung. Ini
berarti dia memakai iman, bukan hanya rasio. Kritik teologis yang bisa
diberikan untuk menanggapi hal ini adalah bahwa akhir hidup manusia bukan
semata-mata ditentukan oleh rasionya karena apapun yang ada di dalam diri
manusia sesungguhnya sudah tercemar oleh dosa dan sebagai orang percaya kita
percaya bahwa akhir hidup manusia adalah waktu penganugrahan hidup kekal dimana
hal ini didapat hanya karena anugrah Allah yang menyelamatkan manusia, suatu
Oknum yang melampaui manusia dan seutuhnya sempurna, tidak berdosa.
Kedua, mengenai kebenaran yang universal ini
masih dalam standar manusia yang berbeda-beda. Bagaimana Descartes dapat
menentukan seseorang itu berbuat baik apabila mereka mempunyai batasan yang
berbeda-beda mengenai “perbuatan baik” itu sendiri. apa jadinya kalau semua
orang mempunyai standar tersendiri dalam mendefinisikan kata “baik”. Tentunya,
setiap orang akan melakukan apa yang menurutnya baik, walaupun bagi orang lain
itu tidak baik, sehingga standar dari kebaikan itu sendiri menjadi relatif bagi
setiap orang. Ini akan sangat berbahaya. Karena setiap orang punya standar yang
berbeda dalam berbuat baik, sehingga akan merusak keseluruhan sistem kehidupan
yang ada di dalam masyakat.
Tapi diatas semuanya itu, Descartes sudah
secara tersirat menyadari bahwa memang ada suatu kepastian selain kepastian
“cogito, ergo sum” itu (I think therefore I am), yaitu
kebenaran mutlak yang bukan dibuat oleh manusia, tetapi dapat dirasakan oleh
manusia di dalam hatinya yang tentunya bukan lagi ditinjau dari apa yang
dianggap benar oleh dirinya sendiri tetapi sudah melibatkan seorang Oknum yang
berasal dari luar dirinya, dimana oleh Oknum inilah kebenaran ini dinyatakan
dalam pribadi manusia sehingga memahami apa yang disebut sebagai kebenaran yang
benar-benar benar. Kesadaran akan adanya Oknum, sesungguhnya bukan hal
pembuktian yang dapat dilakukan oleh rasio manusia karena untuk menerima
sesuatu sebagai suatu kebenaran mutlak dalam diri seseorang perlu ada kesadaran
serta pengalaman yang terkadang tidak dapat didefinisikan secara logis (iman)
sampai akhirnya kita bisa mengakui secara sadar mengenai eksistensi dari sebuah
kebenaran yang mutlak dan kebenaran ini yang menjadi pedoman bagi hidup manusia
dalam bertindak, berkata-kata dan berpikir.
Kebenaran mutlak diperlukan untuk menjadi
pembeda antara sesuatu yang dikatakan salah dan benar sehingga kehidupan
manusia dapat berjalan dalam keteraturan. Ini sama dengan apa yang Tuhan Yesus
katakan, bahwa hukum taurat itu bukan lagi berbentuk 2 loh batu, tetapi sudah
diukir di dalam hati manusia, sehingga dia dapat membedakan mana yang benar dan
mana yang salah. Masalahnya ada pada manusia itu, apakah dia mau menuruti apa
yang dikatakan oleh hati nuraninya?
Ketiga, mengenai kepatuhan akan adat istiadat
dan hukum yang berlaku, dimana hal itu ditiru dari perilaku orang-orang yang
bijaksana di lingkungan Descartes. Dia juga rela untuk melepaskan pendapatnya
untuk mengujinya kembali namun tetap keyakinannya bahwa jalan terbaik adalah
mengikuti pendapat orang-orang yang paling bijaksana (Descartes, 1983, p. 24).
Jika Descartes begitu percaya pada orang-orang bijaksana sampai dia rela
menguji kembali keyakinannya, tentu orang bijaksana memiliki pengaruh yang
begitu besar. Namun, jika ditinjau lebih dalam, standar yang digunakan oleh
Descartes untuk menentukan seseorang bijaksana masih sangat relatif dan
cenderung subyektif. Kritik teologis dalam menanggapi pernyataan diatas adalah
bahwa standar moral yang ditetapkan bukan suatu kebenaran karena sumber dari
kebijaksaan yang utama bukan berasal dari manusia,tetapi dari Allah sumber
segala hikmat.
Keempat, Descartes memegang prinsip bahwa dia cenderung memegang sesuatu hal yang diragukan sama yakinnya ketika dia memegang sesuatu yang sudah pasti (Descartes, 1983, p. 26). Hal ini dilakukan, karena Descartes meyakini bahwa keragu-raguan merupakan awal untuk memperoleh suatu kepastian. Dia berpikir bahwa kepastian akan diperoleh ketika keragu-raguan secara perlahan dapat terjawab. Dalam hal ini Descartes kembali kepada pernyataan awal, dia mendasarkan standar bijaksananya pada manusia, dimana dalam hal ini manusia sangat mungkin untuk membuat suatu kesalahan sehingga mutlak kehilangan esensi dari bijaksana itu sendiri. Kritik teologisnya adalah pada dasarnya manusia itu memiliki natur dosa, jadi tidak mungkin manusia dapat dijadikan patokan bijaksana yang nantinya akan mengarahkan orang lain untuk menjadi bijaksana juga.
Keempat, Descartes memegang prinsip bahwa dia cenderung memegang sesuatu hal yang diragukan sama yakinnya ketika dia memegang sesuatu yang sudah pasti (Descartes, 1983, p. 26). Hal ini dilakukan, karena Descartes meyakini bahwa keragu-raguan merupakan awal untuk memperoleh suatu kepastian. Dia berpikir bahwa kepastian akan diperoleh ketika keragu-raguan secara perlahan dapat terjawab. Dalam hal ini Descartes kembali kepada pernyataan awal, dia mendasarkan standar bijaksananya pada manusia, dimana dalam hal ini manusia sangat mungkin untuk membuat suatu kesalahan sehingga mutlak kehilangan esensi dari bijaksana itu sendiri. Kritik teologisnya adalah pada dasarnya manusia itu memiliki natur dosa, jadi tidak mungkin manusia dapat dijadikan patokan bijaksana yang nantinya akan mengarahkan orang lain untuk menjadi bijaksana juga.
Kelima, Descartes mengatakan untuk selalu
berusaha mengalahkan diri sendiri, dan bukannya nasib; mengubah
keinginan-keinginan sendiri, dan bukannya merombak tatanan dunia; serta
membiasakan diri untuk meyakini bahwa tidak ada satupun yang ada di bawah
kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita (Descartes, 1983, p. 27). Hal
ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia yang berasio tidak punya kendali
apapun terhadap nasib, sehingga terkesan menjadi pasrah akan segala hal yang
terjadi dalam hidupnya. Kritik teologis adalah memang benar manusia tidak bisa
mengubah nasib, tetapi sebagai orang percaya selalu ada pengharapan akan segala
sesuatu, sekalipun bagi manusia hal itu mustahil tetapi bagi Allah segala
sesuatu mungkin asal pengharapan kita selalu adapada-Nya.
PEMIKIRAN HUME
Teori Hume Tentang Pengalaman dan Kausalitas (Sebab-Akibat).
Teori Hume
tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita
dapat dipecah menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa
istilah kesan (impression) menunjuk kepada semua persepsi kita yang lebih hidup
ketika mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau
menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam
kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Di sisi lain,
ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan,
yang terakhir ini sering melibatkan kemampuan imajinasi kita yang memberi produk
ide, yang mungkin kita memiliki kaitan langsung di dalam wilayah kesan.
Meskipun demikian, semua ide dasarnya berasal dari kesan.
Hume
menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan
bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat
dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas
kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan
tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks
tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks
dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide
kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.
Selanjutnya,
Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan
yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan
akibat. Dengan sarana relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari memori dan
indera kita. Hume menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab
dan akibat antara dua hal atau lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan
arti bahwa yang satu, secara langsung atau tidak langsung bersebelahan dengan
yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah dalam
beberapa hal, secara temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun,
kondisi-kondisi ini tampak tidak mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab
dan akibat. Karena dapat dipahami bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara
temporer sebelum Y tanpa menjadi sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang
lebih. Hume beranggapan bahwa kita menambahkan sebuah ide jika ada hubungan
tetap (necessary connection) antara X dan Y di dalam situasi di mana X
dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal
pasti memiliki suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman
biasa tentang relasi sebab dan akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika
suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain, dengan sendirinya kita
cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala yang
sebelumnya. Misalnya batu yang disinari matahari selalu panas. Kita
menyimpulkan batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini
tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala,
tetapi tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat.
Hume menegaskan
bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau
kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja
dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api
tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif
yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang
dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus.
Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang
akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu. Menurut Hume, pengalamanlah
yang memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati
sesuai waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan
saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia
kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi
jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah
berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan
makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti
itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian.
Teori Hume Tentang Eksistensi Tuhan.
Hume
mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua
bukti pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat.
Keduanya membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya
gagasanku mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai
benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan
sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda
berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai
keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan
pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes
gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa
meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan
tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun empiris untuk
kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan
pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan
Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang
memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan
pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang
ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa
filsuf empirisme seperti John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide
bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti
ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan
itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala
kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia
tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji
empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu
tidaklah bermakna, tak berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera
atas zat supranatural, dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji
empiris.
Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.
Hume
berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan
karya arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan
pada anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak,
dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya
merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya
panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan
pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik,
mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”.
Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini
dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana
anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia?
Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa
mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang
melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian,
anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya
telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena menurut
Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan pengalaman,
sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.
TEORI HUME TENTANG ANALISA PENGETAHUAN
Pertama,setaiap ide dan konsep
yang kita miliki tak lain merupakan bentuk dari kesan kesan
(impresi)kita.diantara ide-ide kita mustahil kita menemukan satu ide yang tidak
diikuti oleh satu atau beberapa kesan yang kita rasakan atau kita lewati.orang
tak memiliki indra tak memiliki ide-ide yang dapat memunculkaan berbagai kesan
dari indera yang hilang ituorang buta tidak mengetahui warna dan orang tuli tak
bisa mengtahui suara.
Kedua,
kesan-kesan ini menjadi ide setelah hilangnya factor pengruh sensasi yang
memunculkan kesan-kesan itu. Ide-ide ini kurang jelas dan lebih lemah
sensasinya dari pada kesan-kesan tersebut.
Ketiga,ide-ide
itu adakalanya sederhana ada kalanya kompleks.yang dimaksud ide-ide sederhana
adalah yang tidak bisa diurai,sedangkan yang di maksud dengan ide-ide kompleks
adalah yang bisa diurai menjadi unsure-unsur yang lebih sederhanaa lagi.jika
ide itu sederhana,maka bentuk kesan bersifat terbatas,
PENGINKARAN WUJUD JIWA
Selain
mengingkari adanya substansi material di dunia luar( nyata ),Hume mengingkari
adanya jiwa,karena ide kita tentang jiwa tidak bersumber dari satu atau kesan
beberapa kesan inderwi.kita sesunggunya tidak merasakan jiwa secara langsung
dengan indera fisik atau indera non-fisik.Dalam hal ini,ia berkata:”Sesunggunya manusia,ketika ia mengarah
ke”Dalam”ia tidak menemukan apa-apa,selain ide-ide atau gambaran-gambaran atau
emosi-emosi.ia tidak akan menemukan jiwa”
Analisis
Hume Tentang Prinsip Kasualitas
Hume
membahas prinsip-prinsip kasulitas ini dalam bukunya Bahts fiy al-aql al-basyariy,h.42- 46 diterjemakan oleh Dr.Zaki Najib Mahmud dalam
bukunya David Hume.beliau mengutip ucapan Hume sebagai berikut: saya berasumsi
bahwa sesungguhnya seseorang dalam posisinya sebagai mahluk yang memiliki
kemanpuan bawaan berupa akal pikiran,hadi di ala mini dengan kempuan itu secara
alamiah.walaupun dengan potensi bawaanya itu,ia dapat mencermati fenomena
kausalitas pada segala sesuatu,tapi ia tak mampu untuk mengungkap
metafenomena dibalik kausalitas
itu.Untuk pertama kalinya,ia tak dapat sampai kepada pemikiran sebab-akibat
meski dengan mengunakan akal pikirannya.karen kekutan unik yang merupakan
pengerak alamiah tak kan pernah tampak oleh indera.maka tidak masuk akal
berkesimpulan bahwa setiap kejadian dalam bentuk tertantu pasti disebabkan oleh
yang lain,sehingga yang pertama disebut sebab dan kedua disebut
akibat.kadang-kadang pertalian keduanya hanya bersifat aksidental dan kebetulan
belaka,sehingga tak ada bukti akal untuk berdalih bahwa pengalaman hidup di
alam yang luas ini,membuat manusia mencermati bahwa suatu hal atau peristiwa
saling terkait satu sama lain hanya dalam momentum tertentu.lalu paa yang dapat
disimpulkan dari pengalaman ini?sesungguhnya tidak mungkin entitas itu ada
secara pasti sebagai akibat dari entitas lain. Seluruh pengalaman tidak
memungkinkan seseorang denagan kekuatan pemikiran bahwah sadarnya untuk
menhubungkan peristiwa terdahulu dengan yang sekarang,sehingga jelas bukanlah
aktifitas akal semata yang membuatnya mengerti tentang kausanitas.akal hanya
memiliki prose itu dalam bentuk berfikir,lalu kemudian meemmahami bahwa pola
kejadian.
Hume
mengigkari prinsip kausalitas sebagai sebuah keniscahyaan yang kita percayai
sambil berkeyakinan bahwa berbagai peristiwa di ala mini terjadi berurutan
secara pasti.Dia bekeyakinan penyaksian luaran dan tuntutan fenomenal dari
peristiwa-peristiwa alam tanpa kepastian yang kita sebut sebagai
kasualitas.Dengan pengingkaran hubungan-hubungan penting antara fenomena-
fenomena seperti ini,Hume menolak adanya induksi ilmiah jika kita
menggambarkanya sebagai entitas berdiri diatas keniscahyaan seraya berusaha untuk menyingkap hubungan-
hubungan ini.
PEMIKIRAN KANT
Kritik atas Rasio Murni
Kritik
atas rasio murni (Critique of Pure Reason)
merupakan karya pertama Immanuel Kant. Critique
of Pure Reason memuat pemikiran Kant tentang estetika
transendental, analitika transendental dan dialektika transendetal.
Dalam
“Kritik atas Rasio Murni” Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan
bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih
dahulu membedakan adanya tiga macam pengetahuan atau keputusan yakni pertama,
keputusan analitis a priori yang
menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah
termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
Kedua,
keputusan sintesis aposteriori dengan
predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan
setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah
diketahui.Misalnya meja itu bagus.
Ketiga,
keputusan apriori menggunakan
sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga.
Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta,
mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintesis
bersifat apriori. Kant menyebut keputusan jenis ketiga sebagai syarat dasar
sebuah pengetahuan (ilmiah) dipenuhi yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi
pengetahuan baru.
Pengetahuan
merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni
unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu
unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap
Pertama,
pencerapan indrawi (sinneswahrehmung)
Menurut Kant pencerapan inderawi adalah tingkat
pengetahuan manusia pertama dan terendah. Data-data inderawi harus di buktikan
dulu dengan 12 kategori, baru dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme
rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode
induksi, dari partikular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Menurut
Immanuel Kant, manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak
lahir. Teori ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa
data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah
sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
Kedua, akal
budi (verstand)
Tugas akal budi adalah menyusun dan
menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan.
Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman
inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang
disebut dengan kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi
bekerja sedemikian rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan
data-data yang dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan
sahnya ilmu pengetahuan alam.
Ketiga, intelek
atau rasio (versnunft).
Menurut Kant intelekt atau rasio (versnunft) adalah
kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan
mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang
bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan
tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).
Rasio
berbeda dengan akal budi. Rasio (versnunft) menghasilkan ide-ide
transcendental. Akal budi berkaitan dengan penampakan. Rasio menerima
konsep-konsep dan putusan akal budi menemukan kesatuan (Kant, 1990).
Dalam
dialektika transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea
transendental yakni idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea
teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah
(psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua
gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).
Meskipun
ketiga ide di atas mengatur argumentasi tentang pengalaman, tetapi ketiga ide
itu tidak termasuk pengalaman karena ke-12 kategori tidak dapat diberlakukan
pada ide transendental ini disebabkan ketiganya bukan obyek pengalaman.
Pengalaman
hanya terjadi dalam fenomena, padahal ketiga ide itu berada di dunia nomena,
yang tidak tampak. Ide tentang jiwa, dunia, dan Tuhan bukan pengertian tentang
kenyataan inderawi, bukan benda pada dirinya sendiri (das
ding an sich). Ketiganya merupakan postulat epistemology yang
berada di luar teoritis empiris.
Kritik atas Rasio Praktis
Dalam Kritik
der Pratischen Vernunft (1788) atau Kritik atas Rasio Praktis Kant
menyatakan bahwa rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan. Sehingga
rasio disebut sebagai rasio teoretis atau rasio murni. Selain rasio
murni, ada rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita
lakukan atau rasio yang memberikan perintah kepada kehendak manusia.
Kant
beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku
manusia tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut sebagai
postulat rasio praktis yaitu 1) Free
will yakni kehendak yang bebas; 2) Keabadian jiwa
yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati,
tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di
atas segala sesuatu yang ada di dunia. 3) Tuhan.
Kritisisme
Perjalanan Kant hingga
menemukan kritisisme dibagi dalam dua fase: tahap pra kritis dan kritis dengan
tahun 1770 sebagai batasnya ketika Kant menjabat sebagai guru besar filsafat
(Hadiwijono, 1980:64). Namun, sumber lain mengatakan masa pra kritis
adalah sebelum Kant bertemu dengan David Hume. Immanuel Kant mengatakan bahwa
Hume adalah pihak yang membangunkan ia dari kelelapan sejenak yang diliputi
dogmatism (Delfaauw, 1992:120).
Era pra
kritis Kant ditandai dengan dominasi pengaruh tokoh-tokoh rasionalisme seperti
Plato, Leibniz dan Wolf, juga tokoh empirisme David Hume. Tulisan-tulisan Kant
pada masa ini cenderung mengarah pada metafisika rasional (Delfgaauw, 1992).
Setelah
Immanuel Kant memasuki masa kritis, ia mengubah pemikirannya lebih radikal. Ia
menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan mempertentangkannya dengan
dogmatisme (Guyer, 1995). Filsafat Kant disebut kritisisme karena ia tidak
membenarkan penggunaan kemampuan rasio semata-mata dalam memahami realitas pada
dirinya. Menurut Kant rasio memiliki keterbatasan yang hanya sampai pada dunia
penginderaan (fenomena).
Kritisisme
dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip
dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme
dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern
(1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa
begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan
dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy
berusaha didamaikan Kant.
Rasionalisme
mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa ketiganya bertujuan untuk
menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar
kepercayaan keagamaan atau takhayul. Namun demikian ada perbedaan antara
ketiganya.
Rasionalisme
modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental René Descartes.
Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern
terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan,
suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental.
Menurut
Kant rasionalisme mengutamakan unsur-unsur apriori dalam pengenalan yakni
unsur-unsur yang yang terlepas dari semua pengalaman seperti ide-ide bawaan
Descrates.
Empirisme
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya
ketika lahir. Pernyataan ilmiah harus berdasarkan pengamatan atau
pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris,
melalui berbagai pengamatan dan eksperimen yang harus dapat diulang dan menghasilkan
secara konsisten untuk mengembangkan teori yang bertujuan menjelaskan fenomena
alam.
Empirisme
menekankan unsur-unsur aposteriori yakni unsur-unsur yang berasal dari
pengalaman seperti Locke yang menganggap rasio as
a white paper. Empirisme lahir di Inggris. Tokohnya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Kant
mengkritik empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di
anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman)
itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan
mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub
bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air
akan menjadi dingin.
Kant
beranggapan bahwa kaum empiris memberikan tekanan terlalu besar pada pengalaman
inderawi. Padahal data inderawi harus dibuktikan atau dicek dengan 12 kategori
‘apriori’ rasio, setelah itu baru bisa dinyatakan sah.
Kant
juga mengkritik kaum rasionalis melangkah terlalu jauh dengan pernyataan
mereka tentang seberapa banyak akal dapat memberikan sumbangan.Baik
rasionalisme maupun empirisme, kata Kant, keduanya berat sebelah. Kant
beranggapan bahwa rasionalisme dan empirisme sama-sama benar separuh, tetapi
juga sama-sama salah separuh. Jadi, baik ‘indera’ maupun ‘akal’ sama-sama
memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia (Gaarder, 1999).
Posisi
empirisme dan rasionalisme yang menurut Immanuel Kant berat sebelah kemudian
berusaha diseimbangkan dengan menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan
gabungan antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur a posteriori (Scruton,
1997). Kritisisme Kant menggabungkan dunia ide Plato ‘apriori’ dengan
pengalaman yang bersifat ‘aposteriori’. Apriori artinya sebelum dibuktikan,
kita sudah percaya misalnya Tuhan. Meski mengkritik sekaligus menggabungkan
rasionalisme dan empirisme, beberapa ilmuwan melihat Kant lebih rasional. Hal
itu terlihat pada tiga postulat dalam kritik atas rasio praktis.
Metafisika
Metafisika
adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di
alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Tokoh
filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali
sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai
realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati
melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan Kant dari tidur
dogmatisnya (Kant, 1997). Dari Hume, Kant menyadari bahwa disiplin metafisika
telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas
sesungguhnya.
Pemikiran
Hume dan Kant meminjam istilah posmodernisme, disebut narasi besar yakni ingin
mempertanyakan kembali wacana wacana metafisik yang selalu bergulat. Gagasan
metafisis tentang Tuhan, esensi, substansi, hakiki, ruh sulit diterima karena
bersifat apriori.
Berbeda
dengan Hume yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk
merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional
yang diwariskan Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik)
dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme
kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh
jurang yang tidak dapat diseberangi.
Metafisika
tradisional menganggap Tuhan sebagai causa
prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi
ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori
kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau
pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft).
Bagi
Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya
Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi
tindakan moral pada rasio praktis.
Langkah
awal Kant dalam merekonstruksi metafisika adalah mengungkapkan dua keputusan
yakni sintetik dan analitik seperti dimuat dalam Critique
of Pure Reason (Kritik Rasio Murni). Keputusan sintetik adalah
keputusan dengan predikat tidak ada dalam konsep subyek yang artinya
menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (Adian, 2000). Keputusan analitik
adalah keputusan dengan predikat terkandung dalam subyek. Misalnya proposisi
semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan sudah terkandung dalam semua
tubuh(Adian, 2000).
Menurut
Kant, dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a
priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika
dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan
metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut
Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.
Etika (Filsafat Moral)
Etika
diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara
metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam
melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah
tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif.
Pemikiran
berhubungan dengan moralitas sebelum Kant dicari dalam tatanan alam (Stoa,
Spinoza), hukum kodrat (Thomas Aquinas), hasrat mencapai kebahagiaan (filsafat
pra Kant), pengalaman nikmat atau hedon (Epikuros), perasaan moral (David
Hume), kehendak Tuhan (Agustinus, Thomas Aquinas).
Filsafat
moral Kant menyatakan kesadaran moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah
meskipun bukan obyek inderawi, namun membuka kenyataan bidang realitas di
inderawi. Sehingga satu-satunya cara untuk klaim moralitas atas keabsahan
universal melalui subyek itu sendiri.
Karya
Kant tentang filsafat moral antara lain The Foundations of the Methaphysics of
Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysics of Morals
(1797). Dua buku pertama meletakkan etika dasar etika. Metafisika moral
menguraikan norma dan keutamaan moral.
Kant
mengembangkan prinsip etika dari paham akal budi praktis. Kant mengandaikan
baik bukan hanya dari beberapa segi, tetapi baik secara mutlak. Menurut Kant,
yang baik tanpa pembatasan sama sekali adalah kehendak baik. Kehendak baik
selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya
(otonom). Orang berkehendak baik karena menguntungkan, tergerak oleh perasaan
belas kasih, memenuhi kewajiban demi kewajiban. Kehendak baik karena memenuhi
kewajiban demi kewajiban disebut Kant sebagai moralitas.
Pengukuran
moralitas menurut Kant bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak
membuktikan kehendak baik. Tetapi pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh
kenyataan bahwa perbuatan itu kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan
antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan (Gaarder, 1999).
Teori moralitas Kant disebut Imperatif Kategoris.
Imperatif kategoris
Merupakan
teori yang diciptakan Kant dengan penekanan kepada otonomi individu dalam
mengambil keputusan moral. Imperatif kategoris merupakan suatu panduan untuk
menguji apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak.
Suatu
prinsip bisa dikatakan sebagai imperatif kategoris jika prinsip itu sudah melewati
pengujian yang dilakukan imperatif kategoris. Kita harus mengandaikan bahwa
prinsip atau maksud tindakan kita dapat dijadikan menjadi hukum universal
sehingga semua orang dapat bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan
demikian, kita harus mengandaikan bahwa prinsip yang dipakai dapat
digunakan sebagai hukum universal, bagi siapapun seolah olah tidak ada
alternatif lain. Imperatif kategoris ini terlihat berseberangan dengan egoisme
psikologis.
Egoisme Psikologis
Teori
egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan diri (self interest) dan
tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan diri. Bahkan ketika tindakan itu
ditujukan untuk orang lain, sebenarnya dilakukan untuk dirinya sendiri. Egoisme
psikologis berusaha membantu manusia menyadari bahwa seseorang melakukan
tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi
sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh kepentingan diri dia sendiri.
Sehingga, bisa ditarik kesimpulan tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya
terlepas dari kepentingan dirinya sendiri.
Kritik
terhadap egoisme psikologis. Pertama, orang
bertindak sesuai dengan apa yang paling diinginkan tidak lagi merupakan
hipotesis empiris yang bisa dinilai benar atau salah. Kedua, kritik
logis. Fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling diinginkan
tidak selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan
tindakan moral.
Pengaruh Pemikiran Kant Pada Filsafat dan Modernisme
Pemikiran
Kant mempengaruhi filsuf setelahnya, salah satunya melahirkan kantianisme.
Kantianisme adalah etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada
kewajiban, maka pemeliharaan sebagai etika kewajiban. Paham kantianisme adalah
paham yang menyatakan keadaan tidak peduli terhadap keputusan yang diambil.
Neo
Kantianisme adalah aliran filsafat idealisme yang muncul di Jerman pada tahun 1860 an atau
abad ke 19 (Filsafat Modern). Neo kantianisme bisa diartikan kembali kepada
Kant, yaitu mengembangkan kembali unsur-unsur idealis, metafisis dan dialektis.
Slogan “kembali kepada Kant” ini dicetuskan oleh Otto Liebmann pada
tahun 1965.
Post
metafisika Kant dibahas dalam Filsafat Kontemporer (setelah abad 19) seperti:
fenomenologi, linguistik analilitis, positivisme logis dan liguistik, dan
strukturalisme. Filsafat Kontemporer yang post-metafisik adalah
eksistensialisme yang diterapkan dalam dunia manusia tanpa unsur metafisik,
strukturalisme, marxisme, dan pragmatisme.
Penentuan
rasional ilmiah (fenomena) dan tidak rasional ilmiah (noumena). Sejak abad
ke-20, hal ini ditentang oleh Post-modernisme yang mengaburkan konsep
“rasionalitas.” Konsep Kant bahwa yang bisa diketahui hanya fenomena, pada
akhirnya nanti menjadi lebih radikal dalam post-modernisme nihilistik. Hingga
zaman sekarang pengaruh Kant sangat besar hingga mempengaruhi filsuf
postmodernis seperti Lyotard (Bartens, 2001). Franz Magnis Suseno (1992)
menyebut Kant sebagai filsuf paling besar pengaruhnya salama kurun waktu 500
tahun terakhir.
Tokoh-tokoh
yang menganut paham ini di antaranya adalah Otto Liebmann, Kuno Fischer, Hermann von Helmholtz, Friedrich Albert Lange, Eduard Zeller, African Spir, Hermann Cohen, Alois Riehl. Aliran
neokantianisme dalam perkembangannya melahirkan beberapa mazhab, seperti Mazhab Marburg yang
didirikan oleh Cohen, Mazhab Goettingen yang
didirikan oleh Jacob Fridrich Fries, dan Mazhab Heidelberg yang
dirintis oleh Wilhelm Windelband dan memilki jurnal bernama Logos.
Pengaruh Pemikiran Kant Pada Psikologi
Dalam
ranah Psikologi Kepribadian pemikiran Kant masuk dalam teori yang disusun
berdasar pemikiran spekulatif berdasarkan metodologi yang digunakan
menyusun suatu teori. Pemikiran Immanuel Kant masuk dalam teori temperamen
ketika menggolongkan atas dasar komponen kepribadian yang dipakai sebagai titik
tolak dalam penyusunan perumusan teoritis, dan teori yang mempunyai cara
pendekatan tipologis.Teori Immanuel Kant tentang kepribadian manusia sebagian
terdapat dalam Critique der praktischen vernunft (1788) dan
Anthropologie (1799). Watak (character) dalam arti normatif terdapat dalam
Critique der praktischen vernunft. Watak sebagai kualitas pembeda satu orang
dengan yang lain secara khas terdapat dalam Anthropologie.Kant juga menyinggung
temperamen yang dianggapnya sebagai corak kepekaan atau sinneart, sedangkan
watak sebagai corak pikiran atau denkungsart. Temperamen menurut Kant
mengandung dua aspek yaitu:
1) Aspek
fisiologis yaitu konstitusi tubuh, kompleks atau susunan cairan-cairan
jasmaniah;
2) Aspek
psikologis yaitu kecenderungan-kecenderungan kejiwaan yang disebabkan oleh
komposisi darah.
Aspek
psikologis mencakup dua tipe temperamen yakni 1) temperamen perasaan yang
mencakup sanguinis dan lawannya serta melankolis;
2)
temperamen kegiatan meliputi choleris dan lawannya serta phlegmatis.
CATATAN TERHADAP PARA TOKOH TENTANG KRITIK,DUKUNGAN & PENOLAKAN
Rene Descartes
Kritikan : 1.Descartes mendasari
keraguannya mengenai objektivitas dunia luar, khususnya mengenai “keraguan
mimpi”, dan bertanya: “bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu melakukan
apa yang biasanya saya anggap sebagai mimpi?”
2.Dalam hal” METAFISIKA”Dualismenya ini juga
yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti Barkley
misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan
tubuh berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrim,
baginya benda hidup selain manusia(cth:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa,
sehingga hanya dipandang sebagai bentuk material sama halnya seperti mesin.
Dukungan : Descartes menggunakan iman ini untuk mendukung
idenya ide-ide bawaan. Dia sangat mudah untuk mengatakan bahwa Tuhan itu ada
dan menggunakannya sebagai bukti untuk sebuah konsep filosofis ide-ide bawaan
karena ini tidak memerlukan dasar lainnya.
Penolakan : Descartes berperan dalam sebuah
transisi epistemologis dan metodologis yang secara utuh menolak tradisi konsep
ilmu pengetahuan skolastik.Dan mengubah paradigma lama dalam ilmu pengetahuan ke zaman modern
David hume
Kritik : Kritikan atas konsep
sebab akibat yang umum ini bukanlah hal yang baru, tetapi digarap oleh hume
secara luas sekali dengan ketekunan besar, dan perdebatan yang ditimbulkanya
tetap merupakan salah satu masalah yang brelangsung terus dalam metafisika.
Kant
mengkritik empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di
anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman)
itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan
mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub
bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air
akan menjadi dingin.
Dukungan : David Hume (1711-1776)
adalah seorang filsuf Skotlandia yang berpandangan demikian, yang juga mendapat
dukungan Immanuel Kant (1724-1804), yang menolak argumen klasik pembuktian
secara metafisik tentang keberadaan Tuhan -sebagaimana diajarkan oleh St.
Thomas Aquinas
Penolakan
: Hume mengigkari prinsip kausalitas sebagai sebuah keniscahyaan yang kita percayai
sambil berkeyakinan bahwa berbagai peristiwa di ala mini terjadi berurutan
secara pasti.Dia bekeyakinan penyaksian luaran dan tuntutan fenomenal dari
peristiwa-peristiwa alam tanpa kepastian yang kita sebut sebagai
kasualitas.Dengan pengingkaran hubungan-hubungan penting antara fenomena-
fenomena seperti ini,Hume menolak adanya induksi ilmiah jika kita
menggambarkanya sebagai entitas berdiri diatas keniscahyaan seraya berusaha untuk menyingkap hubungan-
hubungan ini.
Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir.
Immanuel kant Kritik: 1.hagel mengkritik terhadap karya kant yang judulnya Critique Pure
Reason,namun tidak kejelasan
maksud yang di pahami oleh hagel 2. kritik terhadap
modernisme memunculkan apa yang disebut dengan postmodernisme.
Dukungan :
Penolakan : Immanuel Kant (1724-1804), yang menolak argumen klasik pembuktian secara
metafisik tentang keberadaan Tuhan -sebagaimana diajarkan oleh St. Thomas
Aquinas. William Ockham (1288-1348) yang menganggap bahwa manusia dengan akal
budinya tak dapat memahami Allah. Akibat dari paham ini adalah dipisahkannya
iman dan akal budi, sebagaimana diyakini juga John Wycliffe, Jan Hus dan Martin
Luther.
KESIMPULAN
Di dalam
era filsafat modern terdapat beberapa aliran pemikiran, di antaranya:
Rasionalisme (Descartes),Empirisme (Hume) dan
Kritisisme (kant).
Rasionalisme adalah
suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran
pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau
sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat
menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif.
Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan
“aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme adalah suatu
aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang
menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal
berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang
digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang
metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Kritisisme
dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip
dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme
dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern
(1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa
begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan
dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy
berusaha didamaikan Kant.
Disusun oleh :
M.FATCHUR ROCHMAN, ARDI TRI NURYANTO, SULTONUL HALIMIN, TRI SUGENG YANU, SITI FATIMAH, MAHFUD ( Prodi Komunikasi Fisib Universitas Trunojoyo Madura)
Disusun oleh :
M.FATCHUR ROCHMAN, ARDI TRI NURYANTO, SULTONUL HALIMIN, TRI SUGENG YANU, SITI FATIMAH, MAHFUD ( Prodi Komunikasi Fisib Universitas Trunojoyo Madura)
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari
Sejarah Filsafat modern 2. Jakarta: Kanisius
Magee, Bryan, 2001, The Story of Phylosopy, Yogyakarta:
kanisius
Turnbull, neil. 2005. Filsafat: Jakarta
Wattimewa, reza A. A. 2008. Filsafat dan sains. Graindo: Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar