Selasa, 18 Desember 2012

TIGA TONGGAK FILSAFAT MODERN


Filsafat Modern (Abad 17-20 M)

Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh ImanuelKant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.

RENE DESCARTES (1596 – 1650 M)

a.       Riwayat Hidupnya
                    Descartes adalah filsuf Perancis yang dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 M di wilayah Tourine, Perancis. Ia mempelajari bahasa- bahasa kuno, sastra (prosa dan syair), geografi, sejarah, astronomi, filsafat dan teknologi. Setelah mendapat gelar strata satu di bidang hukum, ia mengabdikan dirinya di dunia militer. Setelah itu, ia keluar dan mulai berkelana di Eropa selam sembilan tahun. Ia memikirkan bagaimana menyelesaiakan persoalan-persoalan ilmu alam dengan matematis. Rene Descartes berhasil menemukan ilmu Makanika-Analitik, dimana ia dapat mengungkapkan bentuk-bentuk mekanis dengan kode-kode ilmu aljabar.
                    Descartes memegang bendera reformasi dan inofasi kajian filsafat abad XVII M. Ia melandaskan filsafatnya atas asas spontanitas dan keyakinan positif dalam matematika. Ia memanfaatkan metode matematis yang kaidah-kaidahnya dibatasi sendiri olehnya. Ia ingin menerapkan hal itu di semua cabang ilmu pengetahuan, agar tekbukti adanya kecermatan dan keyakinan ilmu-ilmu matematis pada ilmu-ilmu lain tersebut. Demikianlah Descartes mendeklarasikan trend rasionalisme pada masa modern. Trend inilah yang dulu dibawa Plato pada zaman klasik sehingga kerena itulah descartes pantas mendapatkan julukan “Bapak Filsafat Modern Eropa”

Riwayat hidupnya
David hume dilahirkan di kota Edinburg,Skotlandia.Sejak usia muda,ia sangat mengandrungi filsafat,yang karenanya ia mengorbankan pendalaman ilmu hukum yang seharusnya dikehendaki oleh keluarganya,serta mengorbankan bisnisnya.Hume berkeinginan kuat untuk membangun satu madzhab filsafat yang mampu menyamai ilmu-ilmu alam secara tepat dan akurat dengan bentuan metode deduktif-ekperimental.Hume menulis beberapa buku tentang filsafat,agama dan sejarah.
Namun yang menjadi perhatian kita berkaitan dengan objek kita disini adalah Bukunya yang berjudul philosophical Essays Concerning  Human Understanding dalam dan lisnya pada tahun 1748 M.Tak ada yang meragukan bahwa Hume termasuk oarang yang paling dalan dan cermat dalam mengkaji karakter manusia.Hume boleh berbangga karena dialalah yang membangkitkan Immanuel kant,seorang filsuf kritis dan dia pila yang mengarahkannya menulis tiga buku kritisnya.

IMMANUEL KANT ( 1723-1804 M )

Riwayat Hidupnya
Sokrates adalah seorang ilmuwan yang sangat penting dalam filsafat yunani,sehingga filsafat yang ada sesudahnya sangat terpengaruh oleh pandangan,orientasi serta metodenya,kemudian pula dengan descartes.ia dipandang sebagia bapak filsafat Eropa Modern sekaligus dinobatkan sebagai garis dekarmasi antara filsafat klasik dan filsafat modern.Akan tetapi,Immanuel kant melakukan terobosan orientasi baru dalam pemikiran yang kemudian mendominasi pemikiran pada abad ke-19M.Immanuel kant di lahirkan di Konigsberg Prusia,dari keluarga yang miskin,tapi sangat saleh dan mulia.Kant belajar di sekolah Teologia dan sangat menyenangi kajian-kajian alan dan astrologi termasuk kajian filafat.Setelah berhasil meraih dua gelar akademis,ia mulai menyibukan diri mengajar di universitas sebagai dosen luar biasa (1755M ).Ia melakukan itu selama 14 tahun,sebelum akhirnya meningkat menjadi profesor ( guru besar) bidang logika.
Karya-karyanya memberi suatu perubahan dan bentuk baru dalam cara berfikir yang dituangkan dalam bentuk filsafat kritis (Kritisisme). Beberapa karya Kant yang telah menegakkan popularitasnya antara lain :
  1. Kritik der Reiner Vernunf/ Critique of Pure Reason, 1781 M (Kritik Atas Rasio Murni) 
  2. Prolegomena zu Einer Jeden Kunftigen Metaphysik/Prolegomena to Any Future Metaphisics, 1783 (Pengantar Metafisika Masa Depan) 
  3. Idea for Universal History, 1784 M 
  4. Grundlegung zur Metaphysik der Sitten/Groundwork of The Metaphysic of Morals, 1785 (Pendasaran Metafisika Kesusilaan) 
  5. Metaphysical Faundations of Normal Science, 1786 M. (Pendasaran Metafisika Pengetahuan Alam) 
  6. Kritik der Praktischen Vernunft/Critique of Practical Reason, 1787 M (Kritik Atas Rasio Praktis)
Di antara karya-karya Kant tersebut, tiga karya terbesar sehingga filsafatnya disebut dengan Kritisisme antara lain Critique of Pure Reason (1781), Critique of Practical Reason (1787 M) dan Critique of Judgement (1790).
Kant mampu menciptakan suatu pola ( Model ) filsafat yang dianggap paling mengagumkan dalam filsafat modern.ada tiga buku besarnya yang menjadi penopang kesuksesannya ini,yaitu: Kritik akal murni( Critique of pure reason),Kritik akal praktis ( Critique of pratical reason ),dan Kritik hume ( Critique of judgament) ketika kita menyebutkan ketiga buku itu,maka wajarlah jika kita menetapkan bahwa sesungguhnya buku-buku yang ditulisnya sangat banyak dengan berbagai objek pembahasanya.

PEMIKIRAN TOKOH TERSEBUT MEMANDANG DUNIA

PEMIKIRAN DESCARTES

TEORI TENTANG PENGETAHUAN

Rene Descartes adalah seorang filsuf yang menganut paham rasionalis. Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.
Pada masa mudanya, Descartes berusaha untuk mendapatkan pendidikan sebanyak-banyaknya dengan sekolah dan banyak membaca buku yang ditulis oleh para cendekiawan. Tetapi, setelah menelusuri berbagai pendidikan tersebut Descartes menemukan bahwa masih begitu banyak hal yang dia dapatkan yang belum pasti dan masih banyak diperdebatkan. Akhirnya dia memutuskan untuk mencabut semua akar pendidikan yang telah didapatkannya dan menggantinya dengan pendapat lain yang lebih baik ataupun dengan pendapat yang sama tetapi telah disesuaikannya berdasarkan nalarnya sendiri. Descartes yakin bahwa dengan cara itu dia akan berhasil mengarahkan hidupnya ke arah yang jauh lebih baik dibanding jika dia membangunnya di atas landasan tua, yaitu apabila dia hanya bertumpu pada prinsip-prinsip yang diserapnya di masa muda tanpa pernah diperiksa kebenarannya. Hal ini dengan jelas dikatakannya dalam bukunya Risalah tentang Metode pada bagian yang pertama.
Dalam buku Filsafat dan Iman Kristen 1 diakatakan bahwa prinsip pertama Descartes memutuskan “tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian”. Tujuannya adalah agar manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan yang salah yang diterimanya selama ini dari luar dan berusaha untuk mencari kebenaran yang pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu sendiri sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah.
Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
a.       Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
b.      Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan penyelesaiannya.
c.       Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
d.      Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.

Lebih lanjut Descartes mengatakan bahwa sebenarnya keempat prinsip di atas bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Descartes (dalam Brown, 2005, hal.30) mengatakan, “rantai panjang dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya.
Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.

Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.


KONSEP TENTANG NATUR MANUSIA

Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan Cartesian dualisme yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
·         Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada manusia.
·         Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.
Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul.
Kepintaran filsuf ini menjadi sia-sia ketika ia membuat manusia menjadi pusat dan sumber kebenaran. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak dapat menjadi sumber kebenaran, sebab kebenaran hanya bersumber dari yang kudus, yang benar, yang tak bercacat dan yang sempurna. Jika Descartes mencoba menjadikan manusia dengan senses dan idea yang dimilikinya menjadi sumber kebenaran, maka itu telah menyalahi kebenaran yang sejati. Sebab manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri.
Manusia adalah ciptaan yang tidak dapat terlepas dari pencipta-Nya. Ada subjek yang lebih besar yang menjadi Pencipta, yang merupakan sumber kebenaran.
Descartes terjerumus dalam rasionya. Pemberhalaannya akan rasio telah menutup mata imannya. Ia menolak eksistensi Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi dan sumber kehidupan. Hikmat dan kebijaksanaan hanya datang dari Allah. Ketika manusia menolak Allah, maka manusia tidak akan mendapatkan hikmat dan kebijaksanaan itu. Descartes yang menolak keberadaan Allah sebagai oknum yang benar-benar ada dan berkuasa, tentu saja tidak akan melihat kebenaran yang sejati. Ketika manusia mencoba memikirkan bahwa Allah bukanlah oknum yang penting dalam kehidupannya, saat itu pulalah manusia kehilangan hikmat.

TUJUAN KEHIDUPAN

Cartesian Rasionalism menurut Descartes merupakan aplikasi yang diterapkan dalam kehidupan, termasuk dalam etika. Descartes mengatakan bahwa tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia dan tujuan ini hanya dapat dicapai oleh rasio atau akal manusia. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes - 2, 2002). Sehingga akhir hidup manusia dikatakan benar jika sepanjang hidupnya manusia berbuat baik. Jika seseorang berbuat baik tentu saja manusia memiliki standar tersendiri tentang sesuatu yang baik dimana sebelumnya hal ini sudah dirasionalisasikan terlebih dahulu.
Ditinjau dari hal-hal di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal tentang akhir hidup manusia. Pertama, akhir hidup manusia ditentukan oleh apa yang manusia lakukan, melalui akal manusia. Dari pernyataan tersebut terlihat terdapat kontroversi atau ketidak konsistenan Cartesian, yaitu : saat Decartes mengatakan akhir hidup manusia akan dapat mencapai ketenangan dan kebahagiaan dengan syarat manusia harus melakukan hal-hal yang baik, disitulah kontroversinya. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa akhir hidup manusia dapat seperti itu, padahal ia belum pernah melihat secara langsung akhir hidup itu sendiri.
Hal yang kedua adalah, mengenai standar universal tentang hal yang baik yang harus dilakukan manusia. Setiap manusia yang memiliki kehendak bebas memiliki pandangan yang berbeda akan batasan-batasan mengenai perbuatan baik itu sendiri. Setiap manusia memiliki standar kebenaran yang berbeda-beda dalam dirinya, jadi dunia pasti akan berantakan jika semua orang dengan seenaknya melakukan segala sesuatu yang dianggapnya benar tanpa memikirkan standar kebenaran dari orang lain (Ingat : Decartes adalah filsuf yang tidak begitu concern terhadap masalah etika, tetapi lebih kepada epstemolgis dan metafisik).

DISKUSI TENTANG TUHAN

Fokus dalam topik Discussion of God ini adalah 2 pendapat dari Descartes mengenai eksistensi Tuhan. Dua pendapat itu terbagi dalam dua kategori, yaitu cosmological dan ontological. Berikut isi dari keduanya yang dikutip dari buku Fifty Major Philosophers karangan Collinson & Plant : “The first argument starts from his recognition of himself as a being who, in virtue of his doubts, is imperfect, yet who is able to entertain the idea of God as perfect being. This perfect idea, he maintains, can come only from the perfect being, therefore God must exist as it source”. Pernyataan pertama Descartes tersebut, kami menyimpulkan bahwa Descartes memulai pemikirannya dengan mengakui dirinya sebagai seseorang (dalam keragu-raguannya) bahwa ia tidak sempurna. Namun, ia dapat mengungkapkan ide tentang Allah yang sempurna. Ide tentang “yang sempurna” itu, ia anggap hanya dapat berasal dari “yang empunya sempurna”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Allah pasti/harus ada sebagai sumber ide itu, pendapat ini termasuk dalam pendapat cosmological.
Kesempurnaan itu merupakan sesuatu yang berasal dari yang lebih sempurna dari pada dia. Pemikiran ini juga yang diletakkan oleh “yang sempurna” itu di dalam dirinya oleh yang Maha Sempurna, yakni Allah. Dapat ditarik kesimpulan, eksistensi Allah adalah benar. Alasan mengapa Descartes berani mengemukakan bahwa Allah adalah sempurna adalah karena dia mengetahui beberapa kesempurnaan yang tidak dia miliki. Sebab ia mengetahui dan merasa bahwa ia tidak memiliki ciri-ciri “yang sempurna” yang hanya ada pada Allah, yakni maha tahu, abadi, tidak terbatas, tidak berubah, dan maha kuasa.
“The second of Descartes’ arguments for the existence of God points out that the idea of a most perfect being is of a being containing every perfection and thus being entirely real. The idea of the most perfect being therefore contain the idea existence” (Collinson & Plant, 2006). Pendapat Descartes yang kedua mengenai eksistensi Allah mengacu pada eksistensi dan esensi dari “perfect being” itu sendiri. Ia beranggapan bahwa ide dari yang paling sempurna adalah makhluk yang mengandung kesempurnaan itu sendiri. Melalui gagasan itu, akhirnya Descartes berpendapat bahwa oleh karena Tuhan itu sempurna, maka Ia tidak akan membawa seseorang ke dalam kesalahan, dan melalui kemampuan manusia kemudian dinyatakan menjadi pengetahuan. Di dalam bukunya The Last Meditation pada akhirnya ia berpendapat bahwa apa yang ia percayai sekarang dari benda-benda fisik (metafisik) adalah sesuatu yang benar yang bukan tipuan atau kesesatan, karena itu berasal dari Tuhan yang adalah perfect being yang tidak mungkin menipu.
“Allah tidak akan membiarkan kita berpikir bahwa pikiran kita yang jelas dan nyata adalah benar, seandainya semua itu tidak benar. Maka kita dapat benar-benar yakin bahwa segala deduksi logis kita mengenai realita adalah benar” (Brown, 2005, pg 67). Dengan demikian kebenaran dari Allah adalah jaminan untuk seluruh rangkaian ide dan pengetahuan akan segala sesuatu yang dipikirkan manusia. Jadi, tidak ada sesuatu yang terlalu tersembunyi sehingga tidak dapat ditemukan dengan pikiran manusia sejauh pengetahuan manusia mampu untuk mencapainya (sesuai yang Tuhan nyatakan), sehingga tidak ada kata menerima sesuatu sebagai kebenaran tanpa membuktikannya.
Kami melihat konsep pemikiran Descartes sebenarnya baik, karena memusatkan fokus akhirnya kepada Tuhan yang dia percayai. Dengan meragu-ragukan segala sesuatu (yang mungkin sebenarnya ia anggap benar) misalnya, teori panas ia ragu-ragukan untuk membuktikan bahwa teori ini ada/eksis, walaupun sudah dibuktikan oleh Francis Bacon. Dari situ, dia ingin mengatakan bahwa ia percaya akan pengetahuan yang diberikan Tuhan, merupakan sesuatu yang benar adanya.

ETIKA
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail.
Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of René Descartes - 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatuyangbenar.
Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes' Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Dari pemikiran Descartes, ada hal yang masih perlu dipertanyakan kembali. Pertama, akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia). Ini bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang memerlukan bukti dari segala sesuatu. Bagaimana Descartes bisa menjelaskan bahwa akhir hidup seseorang akan mencapai ketenangan dan kebahagiaan jika perilakunya baik sedangkan dia belum melihat akhir hidup seseorang itu secara langsung. Ini berarti dia memakai iman, bukan hanya rasio. Kritik teologis yang bisa diberikan untuk menanggapi hal ini adalah bahwa akhir hidup manusia bukan semata-mata ditentukan oleh rasionya karena apapun yang ada di dalam diri manusia sesungguhnya sudah tercemar oleh dosa dan sebagai orang percaya kita percaya bahwa akhir hidup manusia adalah waktu penganugrahan hidup kekal dimana hal ini didapat hanya karena anugrah Allah yang menyelamatkan manusia, suatu Oknum yang melampaui manusia dan seutuhnya sempurna, tidak berdosa.
Kedua, mengenai kebenaran yang universal ini masih dalam standar manusia yang berbeda-beda. Bagaimana Descartes dapat menentukan seseorang itu berbuat baik apabila mereka mempunyai batasan yang berbeda-beda mengenai “perbuatan baik” itu sendiri. apa jadinya kalau semua orang mempunyai standar tersendiri dalam mendefinisikan kata “baik”. Tentunya, setiap orang akan melakukan apa yang menurutnya baik, walaupun bagi orang lain itu tidak baik, sehingga standar dari kebaikan itu sendiri menjadi relatif bagi setiap orang. Ini akan sangat berbahaya. Karena setiap orang punya standar yang berbeda dalam berbuat baik, sehingga akan merusak keseluruhan sistem kehidupan yang ada di dalam masyakat.
Tapi diatas semuanya itu, Descartes sudah secara tersirat menyadari bahwa memang ada suatu kepastian selain kepastian “cogito, ergo sum” itu (I think therefore I am), yaitu kebenaran mutlak yang bukan dibuat oleh manusia, tetapi dapat dirasakan oleh manusia di dalam hatinya yang tentunya bukan lagi ditinjau dari apa yang dianggap benar oleh dirinya sendiri tetapi sudah melibatkan seorang Oknum yang berasal dari luar dirinya, dimana oleh Oknum inilah kebenaran ini dinyatakan dalam pribadi manusia sehingga memahami apa yang disebut sebagai kebenaran yang benar-benar benar. Kesadaran akan adanya Oknum, sesungguhnya bukan hal pembuktian yang dapat dilakukan oleh rasio manusia karena untuk menerima sesuatu sebagai suatu kebenaran mutlak dalam diri seseorang perlu ada kesadaran serta pengalaman yang terkadang tidak dapat didefinisikan secara logis (iman) sampai akhirnya kita bisa mengakui secara sadar mengenai eksistensi dari sebuah kebenaran yang mutlak dan kebenaran ini yang menjadi pedoman bagi hidup manusia dalam bertindak, berkata-kata dan berpikir.
Kebenaran mutlak diperlukan untuk menjadi pembeda antara sesuatu yang dikatakan salah dan benar sehingga kehidupan manusia dapat berjalan dalam keteraturan. Ini sama dengan apa yang Tuhan Yesus katakan, bahwa hukum taurat itu bukan lagi berbentuk 2 loh batu, tetapi sudah diukir di dalam hati manusia, sehingga dia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Masalahnya ada pada manusia itu, apakah dia mau menuruti apa yang dikatakan oleh hati nuraninya?
Ketiga, mengenai kepatuhan akan adat istiadat dan hukum yang berlaku, dimana hal itu ditiru dari perilaku orang-orang yang bijaksana di lingkungan Descartes. Dia juga rela untuk melepaskan pendapatnya untuk mengujinya kembali namun tetap keyakinannya bahwa jalan terbaik adalah mengikuti pendapat orang-orang yang paling bijaksana (Descartes, 1983, p. 24). Jika Descartes begitu percaya pada orang-orang bijaksana sampai dia rela menguji kembali keyakinannya, tentu orang bijaksana memiliki pengaruh yang begitu besar. Namun, jika ditinjau lebih dalam, standar yang digunakan oleh Descartes untuk menentukan seseorang bijaksana masih sangat relatif dan cenderung subyektif. Kritik teologis dalam menanggapi pernyataan diatas adalah bahwa standar moral yang ditetapkan bukan suatu kebenaran karena sumber dari kebijaksaan yang utama bukan berasal dari manusia,tetapi dari Allah sumber segala hikmat.
Keempat, Descartes memegang prinsip bahwa dia cenderung memegang sesuatu hal yang diragukan sama yakinnya ketika dia memegang sesuatu yang sudah pasti (Descartes, 1983, p. 26). Hal ini dilakukan, karena Descartes meyakini bahwa keragu-raguan merupakan awal untuk memperoleh suatu kepastian. Dia berpikir bahwa kepastian akan diperoleh ketika keragu-raguan secara perlahan dapat terjawab. Dalam hal ini Descartes kembali kepada pernyataan awal, dia mendasarkan standar bijaksananya pada manusia, dimana dalam hal ini manusia sangat mungkin untuk membuat suatu kesalahan sehingga mutlak kehilangan esensi dari bijaksana itu sendiri. Kritik teologisnya adalah pada dasarnya manusia itu memiliki natur dosa, jadi tidak mungkin manusia dapat dijadikan patokan bijaksana yang nantinya akan mengarahkan orang lain untuk menjadi bijaksana juga.
Kelima, Descartes mengatakan untuk selalu berusaha mengalahkan diri sendiri, dan bukannya nasib; mengubah keinginan-keinginan sendiri, dan bukannya merombak tatanan dunia; serta membiasakan diri untuk meyakini bahwa tidak ada satupun yang ada di bawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita (Descartes, 1983, p. 27). Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai manusia yang berasio tidak punya kendali apapun terhadap nasib, sehingga terkesan menjadi pasrah akan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Kritik teologis adalah memang benar manusia tidak bisa mengubah nasib, tetapi sebagai orang percaya selalu ada pengharapan akan segala sesuatu, sekalipun bagi manusia hal itu mustahil tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin asal pengharapan kita selalu adapada-Nya.

PEMIKIRAN HUME

Teori Hume Tentang Pengalaman dan Kausalitas (Sebab-Akibat).

Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecah menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah kesan (impression) menunjuk kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Di sisi lain, ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan, yang terakhir ini sering melibatkan kemampuan imajinasi kita yang memberi produk ide, yang mungkin kita memiliki kaitan langsung di dalam wilayah kesan. Meskipun demikian, semua ide dasarnya berasal dari kesan.
Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.
Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat. Dengan sarana relasi itu, kita dapat melampaui bukti dari memori dan indera kita. Hume menegaskan bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara dua hal atau lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan arti bahwa yang satu, secara langsung atau tidak langsung bersebelahan dengan yang lain, dan bahwa yang satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah dalam beberapa hal, secara temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak tidak mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa menjadi sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan bahwa kita menambahkan sebuah ide jika ada hubungan tetap (necessary connection) antara X dan Y di dalam situasi di mana X dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa atau hal pasti memiliki suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka pemahaman biasa tentang relasi sebab dan akibat tidak akan muncul. Dengan demikian, jika suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain, dengan sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang disinari matahari selalu panas. Kita menyimpulkan batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala, tetapi tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat.
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu. Menurut Hume, pengalamanlah yang memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian.

Teori Hume Tentang Eksistensi Tuhan.

Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.

Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.
Hume berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak, dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik, mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”. Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.

TEORI HUME TENTANG ANALISA PENGETAHUAN

Pertama,setaiap ide dan konsep yang kita miliki tak lain merupakan bentuk dari kesan kesan (impresi)kita.diantara ide-ide kita mustahil kita menemukan satu ide yang tidak diikuti oleh satu atau beberapa kesan yang kita rasakan atau kita lewati.orang tak memiliki indra tak memiliki ide-ide yang dapat memunculkaan berbagai kesan dari indera yang hilang ituorang buta tidak mengetahui warna dan orang tuli tak bisa mengtahui suara.
Kedua, kesan-kesan ini menjadi ide setelah hilangnya factor pengruh sensasi yang memunculkan kesan-kesan itu. Ide-ide ini kurang jelas dan lebih lemah sensasinya dari pada kesan-kesan tersebut.
Ketiga,ide-ide itu adakalanya sederhana ada kalanya kompleks.yang dimaksud ide-ide sederhana adalah yang tidak bisa diurai,sedangkan yang di maksud dengan ide-ide kompleks adalah yang bisa diurai menjadi unsure-unsur yang lebih sederhanaa lagi.jika ide itu sederhana,maka bentuk kesan bersifat terbatas,

PENGINKARAN WUJUD JIWA

Selain mengingkari adanya substansi material di dunia luar( nyata ),Hume mengingkari adanya jiwa,karena ide kita tentang jiwa tidak bersumber dari satu atau kesan beberapa kesan inderwi.kita sesunggunya tidak merasakan jiwa secara langsung dengan indera fisik atau indera non-fisik.Dalam hal ini,ia berkata:”Sesunggunya manusia,ketika ia mengarah ke”Dalam”ia tidak menemukan apa-apa,selain ide-ide atau gambaran-gambaran atau emosi-emosi.ia tidak akan menemukan jiwa”


Analisis Hume Tentang Prinsip Kasualitas
Hume membahas prinsip-prinsip kasulitas ini dalam bukunya Bahts fiy al-aql al-basyariy,h.42- 46  diterjemakan oleh Dr.Zaki Najib Mahmud dalam bukunya David Hume.beliau mengutip ucapan Hume sebagai berikut: saya berasumsi bahwa sesungguhnya seseorang dalam posisinya sebagai mahluk yang memiliki kemanpuan bawaan berupa akal pikiran,hadi di ala mini dengan kempuan itu secara alamiah.walaupun dengan potensi bawaanya itu,ia dapat mencermati fenomena kausalitas pada segala sesuatu,tapi ia tak mampu untuk mengungkap metafenomena  dibalik kausalitas itu.Untuk pertama kalinya,ia tak dapat sampai kepada pemikiran sebab-akibat meski dengan mengunakan akal pikirannya.karen kekutan unik yang merupakan pengerak alamiah tak kan pernah tampak oleh indera.maka tidak masuk akal berkesimpulan bahwa setiap kejadian dalam bentuk tertantu pasti disebabkan oleh yang lain,sehingga yang pertama disebut sebab dan kedua disebut akibat.kadang-kadang pertalian keduanya hanya bersifat aksidental dan kebetulan belaka,sehingga tak ada bukti akal untuk berdalih bahwa pengalaman hidup di alam yang luas ini,membuat manusia mencermati bahwa suatu hal atau peristiwa saling terkait satu sama lain hanya dalam momentum tertentu.lalu paa yang dapat disimpulkan dari pengalaman ini?sesungguhnya tidak mungkin entitas itu ada secara pasti sebagai akibat dari entitas lain. Seluruh pengalaman tidak memungkinkan seseorang denagan kekuatan pemikiran bahwah sadarnya untuk menhubungkan peristiwa terdahulu dengan yang sekarang,sehingga jelas bukanlah aktifitas akal semata yang membuatnya mengerti tentang kausanitas.akal hanya memiliki prose itu dalam bentuk berfikir,lalu kemudian meemmahami bahwa pola kejadian.
Hume mengigkari prinsip kausalitas sebagai sebuah keniscahyaan yang kita percayai sambil berkeyakinan bahwa berbagai peristiwa di ala mini terjadi berurutan secara pasti.Dia bekeyakinan penyaksian luaran dan tuntutan fenomenal dari peristiwa-peristiwa alam tanpa kepastian yang kita sebut sebagai kasualitas.Dengan pengingkaran hubungan-hubungan penting antara fenomena- fenomena seperti ini,Hume menolak adanya induksi ilmiah jika kita menggambarkanya sebagai entitas berdiri diatas keniscahyaan  seraya berusaha untuk menyingkap hubungan- hubungan ini.

PEMIKIRAN KANT

Kritik atas Rasio Murni           

Kritik atas rasio murni (Critique of Pure Reason) merupakan karya pertama Immanuel Kant. Critique of Pure Reason memuat pemikiran Kant tentang estetika transendental, analitika transendental dan dialektika transendetal.
Dalam “Kritik atas Rasio Murni”  Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan  bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk  itu ia terlebih dahulu membedakan adanya tiga macam pengetahuan atau keputusan yakni pertama, keputusan analitis a priori yang menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
Kedua, keputusan sintesis aposteriori dengan predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.Misalnya meja itu bagus.
Ketiga, keputusan apriori menggunakan sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga. Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun  atas putusan sintesis bersifat apriori. Kant menyebut keputusan jenis ketiga sebagai syarat dasar sebuah pengetahuan (ilmiah) dipenuhi yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.
Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap
Pertama, pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant pencerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah. Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Menurut Immanuel Kant,  manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak lahir. Teori ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
Kedua, akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan alam.
Ketiga, intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant intelekt atau rasio (versnunft) adalah kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).
Rasio berbeda dengan akal budi. Rasio (versnunft) menghasilkan ide-ide transcendental. Akal budi berkaitan dengan penampakan. Rasio menerima konsep-konsep dan putusan akal budi menemukan kesatuan (Kant, 1990).
Dalam dialektika transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).
Meskipun ketiga ide di atas mengatur argumentasi tentang pengalaman, tetapi ketiga ide itu tidak termasuk pengalaman karena ke-12 kategori tidak dapat diberlakukan pada ide transendental ini disebabkan ketiganya bukan obyek pengalaman.
Pengalaman hanya terjadi dalam fenomena, padahal ketiga ide itu berada di dunia nomena, yang tidak tampak. Ide tentang jiwa, dunia, dan Tuhan bukan pengertian tentang kenyataan inderawi, bukan benda pada dirinya sendiri (das ding an sich). Ketiganya merupakan postulat epistemology yang berada di luar teoritis empiris.

Kritik atas Rasio Praktis

Dalam Kritik der Pratischen Vernunft (1788)  atau  Kritik atas Rasio Praktis Kant menyatakan bahwa rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan.  Sehingga  rasio disebut sebagai rasio teoretis  atau rasio murni. Selain rasio murni, ada rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan atau rasio yang memberikan perintah kepada kehendak manusia.
Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut  sebagai postulat  rasio praktis yaitu 1) Free will yakni kehendak yang bebas; 2) Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di atas segala sesuatu yang ada di dunia. 3) Tuhan.

Kritisisme

Perjalanan Kant hingga menemukan kritisisme dibagi dalam dua fase: tahap pra kritis dan kritis dengan tahun 1770 sebagai batasnya ketika Kant menjabat sebagai guru besar filsafat (Hadiwijono, 1980:64). Namun, sumber lain mengatakan masa pra kritis adalah sebelum Kant bertemu dengan David Hume. Immanuel Kant mengatakan bahwa Hume adalah pihak yang membangunkan ia dari kelelapan sejenak yang diliputi dogmatism (Delfaauw, 1992:120).
Era pra kritis Kant ditandai dengan dominasi pengaruh tokoh-tokoh rasionalisme seperti Plato, Leibniz dan Wolf, juga tokoh empirisme David Hume. Tulisan-tulisan Kant pada masa ini cenderung mengarah pada metafisika rasional (Delfgaauw, 1992).
Setelah Immanuel Kant memasuki masa kritis, ia mengubah pemikirannya lebih radikal. Ia menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan  mempertentangkannya dengan dogmatisme (Guyer, 1995). Filsafat Kant disebut kritisisme karena ia tidak membenarkan penggunaan kemampuan rasio semata-mata dalam memahami realitas pada dirinya. Menurut Kant rasio memiliki keterbatasan yang hanya sampai pada dunia penginderaan (fenomena).
Kritisisme dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy berusaha didamaikan Kant.
Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa ketiganya bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Namun demikian ada perbedaan antara ketiganya.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental  René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental.
Menurut Kant rasionalisme mengutamakan unsur-unsur apriori dalam pengenalan yakni unsur-unsur yang yang terlepas dari semua pengalaman seperti ide-ide bawaan Descrates.
Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir. Pernyataan ilmiah harus berdasarkan  pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimen yang harus dapat diulang dan menghasilkan secara konsisten untuk mengembangkan teori yang bertujuan menjelaskan fenomena alam.
Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori yakni unsur-unsur yang berasal dari pengalaman seperti Locke yang menganggap rasio as a white paper. Empirisme lahir di Inggris. Tokohnya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Kant mengkritik empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan menjadi dingin.
Kant beranggapan bahwa kaum empiris memberikan tekanan terlalu besar pada pengalaman inderawi. Padahal data inderawi harus dibuktikan atau dicek dengan 12 kategori ‘apriori’ rasio, setelah itu baru bisa dinyatakan sah.
Kant juga mengkritik kaum rasionalis melangkah terlalu jauh dengan  pernyataan mereka tentang seberapa banyak akal dapat memberikan sumbangan.Baik rasionalisme maupun empirisme, kata Kant, keduanya berat sebelah. Kant beranggapan bahwa rasionalisme dan empirisme sama-sama benar separuh, tetapi juga sama-sama salah separuh. Jadi, baik ‘indera’ maupun ‘akal’ sama-sama memainkan peranan dalam konsepsi kita mengenai dunia (Gaarder, 1999).
Posisi empirisme dan rasionalisme yang menurut Immanuel Kant berat sebelah kemudian berusaha diseimbangkan dengan menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan gabungan antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur a posteriori (Scruton, 1997). Kritisisme Kant menggabungkan dunia ide Plato ‘apriori’ dengan pengalaman yang bersifat ‘aposteriori’. Apriori artinya sebelum dibuktikan, kita sudah percaya misalnya Tuhan. Meski mengkritik sekaligus menggabungkan rasionalisme dan empirisme, beberapa ilmuwan melihat Kant lebih rasional. Hal itu terlihat pada tiga postulat dalam kritik atas rasio praktis.

Metafisika       

Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Tokoh filsuf empirisme David Hume menghancurkan segala kemungkinan munculnya kembali sistem metafisika yang mengklaim kemampuan rasio (akal) manusia mencapai realitas sesungguhnya. Hume hanya mau bersandar pada apa yang bisa diamati melalui inderawi. Kritik pedas Hume pada metafisika membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya (Kant, 1997). Dari Hume, Kant menyadari bahwa disiplin metafisika telah melalaikan keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas sesungguhnya.
Pemikiran Hume dan Kant meminjam istilah posmodernisme, disebut narasi besar yakni ingin mempertanyakan kembali wacana wacana metafisik yang selalu bergulat. Gagasan metafisis tentang Tuhan, esensi, substansi, hakiki, ruh sulit diterima karena bersifat apriori.
Berbeda dengan Hume yang menolak metafisika, Kant mempertanyakan metafisika untuk merekonstruksi metafisika yang sudah ada. Ia membuang metafisika tradisional yang diwariskan  Aristoteles (filsuf Yunani) dan Thomas (filsuf skolastik) dengan eviden sebagai dasarnya. Eviden yang dimaksud Kant adalah dualisme kritisisme yang ekstrem yakni pengetahuan dan kenyataan yang terpisah oleh jurang yang tidak dapat diseberangi.
Metafisika tradisional menganggap Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama dari segala sesuatu). Asumsi ini ditolak Kant. Menurutnya Tuhan bukanlah obyek pengalaman dengan kategori kausalitas pada tingkat akal budi (verstand), melainkan ada pada bidang atau pandangan yang melampaui akal budi, yakni bidang rasio (vernunft).
Bagi Kant, pembuktian Tuhan sebagai causa prima tidak bisa diterima. Ada tidaknya Tuhan mustahil dibuktikan. Tuhan ditempatkan Kant sebagai postulat bagi tindakan moral pada rasio praktis.
Langkah awal Kant dalam merekonstruksi metafisika adalah mengungkapkan dua keputusan yakni sintetik dan analitik seperti dimuat dalam Critique of Pure Reason (Kritik Rasio Murni). Keputusan sintetik adalah keputusan dengan predikat tidak ada dalam konsep subyek yang artinya menambahkan sesuatu yang baru pada subyek (Adian, 2000). Keputusan analitik adalah keputusan dengan predikat terkandung dalam subyek. Misalnya proposisi semua tubuh berkeluasan. Predikat berkeluasan sudah terkandung dalam semua tubuh(Adian, 2000).
Menurut Kant,  dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris.  Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis.  

Etika  (Filsafat Moral)

Etika diperlukan untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan manusia. Secara metodologis, etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sehingga etika merupakan suatu ilmu dengan objeknya adalah tingkah laku manusia dengan sudut pandang normatif.
Pemikiran berhubungan dengan moralitas sebelum Kant dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza), hukum kodrat (Thomas Aquinas), hasrat mencapai kebahagiaan (filsafat pra Kant), pengalaman nikmat atau hedon (Epikuros), perasaan moral (David Hume), kehendak Tuhan (Agustinus, Thomas Aquinas).
Filsafat moral Kant menyatakan kesadaran moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah meskipun bukan obyek inderawi, namun membuka kenyataan bidang realitas di inderawi. Sehingga satu-satunya cara untuk klaim moralitas atas keabsahan universal melalui subyek itu sendiri.
Karya Kant tentang filsafat moral antara lain The Foundations of the Methaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysics of Morals (1797). Dua buku pertama meletakkan etika dasar etika. Metafisika moral menguraikan norma dan keutamaan moral.
Kant mengembangkan prinsip etika dari paham akal budi praktis. Kant mengandaikan baik bukan hanya dari beberapa segi, tetapi baik secara mutlak. Menurut Kant, yang baik tanpa pembatasan sama sekali adalah kehendak baik. Kehendak baik selalu baik dan dalam kebaikannya tidak tergantung pada sesuatu di luarnya (otonom). Orang berkehendak baik karena menguntungkan, tergerak oleh perasaan belas kasih, memenuhi kewajiban demi kewajiban. Kehendak baik karena memenuhi kewajiban demi kewajiban disebut Kant sebagai moralitas.
Pengukuran moralitas menurut Kant bukan pada hasil. Karena perbuatan baik tidak membuktikan kehendak baik. Tetapi pada kehendak pelaku apakah ditentukan oleh kenyataan bahwa perbuatan itu kewajibannya. Kant selalu merasa bahwa perbedaan antara benar dan salah adalah masalah akal, bukan perasaan (Gaarder, 1999). Teori moralitas Kant disebut Imperatif Kategoris.

Imperatif kategoris

Merupakan teori yang diciptakan Kant dengan penekanan kepada otonomi individu dalam mengambil keputusan moral. Imperatif kategoris merupakan suatu panduan untuk menguji apakah suatu tindakan dapat disebut bermoral atau tidak.
Suatu prinsip bisa dikatakan sebagai imperatif kategoris jika prinsip itu sudah melewati pengujian yang dilakukan imperatif kategoris. Kita harus mengandaikan bahwa prinsip atau maksud tindakan kita dapat dijadikan menjadi hukum universal sehingga semua orang dapat bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Dengan demikian, kita harus mengandaikan bahwa prinsip yang dipakai  dapat digunakan sebagai hukum universal, bagi siapapun seolah olah tidak ada alternatif lain. Imperatif kategoris ini terlihat berseberangan dengan egoisme psikologis.

Egoisme Psikologis

Teori egoisme psikologis menyatakan bahwa manusia selalu bertindak sesuai dengan kepentingan diri (self interest) dan tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan diri. Bahkan ketika tindakan itu ditujukan untuk orang lain, sebenarnya dilakukan untuk dirinya sendiri. Egoisme psikologis berusaha membantu manusia menyadari bahwa seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi sebenarnya ia bertindak karena didorong oleh kepentingan diri dia sendiri. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya terlepas dari kepentingan dirinya sendiri.
Kritik terhadap egoisme psikologis. Pertama, orang bertindak sesuai dengan apa yang paling diinginkan tidak lagi merupakan hipotesis empiris yang bisa dinilai benar atau salah. Kedua, kritik logis. Fakta bahwa manusia selalu melakukan hal yang paling diinginkan tidak  selalu berarti bertindak egois dan tidak pernah bisa melakukan tindakan moral.

Pengaruh Pemikiran Kant Pada Filsafat  dan Modernisme

Pemikiran Kant mempengaruhi filsuf setelahnya, salah satunya melahirkan kantianisme. Kantianisme adalah etika non-konsekuensialisme, karena penekanannya pada kewajiban, maka pemeliharaan sebagai etika kewajiban. Paham kantianisme adalah paham yang menyatakan keadaan tidak peduli terhadap keputusan yang diambil.
Neo Kantianisme adalah aliran filsafat idealisme yang muncul di Jerman pada tahun 1860 an atau abad ke 19 (Filsafat Modern). Neo kantianisme bisa diartikan kembali kepada Kant, yaitu mengembangkan kembali unsur-unsur idealis, metafisis dan dialektis. Slogan “kembali kepada Kant” ini dicetuskan oleh Otto Liebmann pada tahun 1965.
Post metafisika Kant dibahas dalam Filsafat Kontemporer (setelah abad 19) seperti: fenomenologi, linguistik analilitis, positivisme logis dan liguistik, dan strukturalisme. Filsafat Kontemporer yang post-metafisik adalah eksistensialisme yang diterapkan dalam dunia manusia tanpa unsur metafisik, strukturalisme, marxisme, dan pragmatisme.
Penentuan rasional ilmiah (fenomena) dan tidak rasional ilmiah (noumena). Sejak abad ke-20, hal ini ditentang oleh Post-modernisme yang mengaburkan konsep “rasionalitas.” Konsep Kant bahwa yang bisa diketahui hanya fenomena, pada akhirnya nanti menjadi lebih radikal dalam post-modernisme nihilistik. Hingga zaman sekarang pengaruh Kant sangat besar hingga mempengaruhi filsuf postmodernis seperti Lyotard (Bartens, 2001). Franz Magnis Suseno (1992) menyebut Kant sebagai filsuf paling besar pengaruhnya salama kurun waktu 500 tahun terakhir.
Tokoh-tokoh yang menganut paham ini di antaranya adalah Otto Liebmann, Kuno Fischer, Hermann von Helmholtz, Friedrich Albert Lange, Eduard Zeller, African Spir, Hermann Cohen, Alois Riehl. Aliran neokantianisme dalam perkembangannya melahirkan beberapa mazhab, seperti Mazhab Marburg yang didirikan oleh Cohen, Mazhab Goettingen yang didirikan oleh Jacob Fridrich Fries, dan Mazhab Heidelberg yang dirintis oleh Wilhelm Windelband dan memilki jurnal bernama Logos.

Pengaruh Pemikiran Kant Pada Psikologi

Dalam ranah Psikologi Kepribadian pemikiran Kant masuk dalam teori yang disusun berdasar pemikiran spekulatif berdasarkan  metodologi yang digunakan menyusun suatu teori. Pemikiran Immanuel Kant masuk dalam teori temperamen ketika menggolongkan atas dasar komponen kepribadian yang dipakai sebagai titik tolak dalam penyusunan perumusan teoritis, dan teori yang mempunyai cara pendekatan tipologis.Teori Immanuel Kant tentang kepribadian manusia sebagian terdapat dalam Critique der praktischen vernunft (1788) dan Anthropologie (1799). Watak (character) dalam arti normatif terdapat dalam Critique der praktischen vernunft. Watak sebagai kualitas pembeda satu orang dengan yang lain secara khas terdapat dalam Anthropologie.Kant juga menyinggung temperamen yang dianggapnya sebagai corak kepekaan atau sinneart, sedangkan watak sebagai corak pikiran atau denkungsart. Temperamen menurut Kant mengandung dua aspek yaitu:
1) Aspek fisiologis yaitu konstitusi tubuh, kompleks atau susunan cairan-cairan jasmaniah;
2) Aspek psikologis yaitu kecenderungan-kecenderungan kejiwaan yang disebabkan oleh komposisi darah.
Aspek psikologis mencakup dua tipe temperamen yakni 1) temperamen perasaan yang mencakup sanguinis dan lawannya serta melankolis;
2) temperamen kegiatan meliputi choleris dan lawannya serta phlegmatis.

CATATAN TERHADAP PARA TOKOH TENTANG KRITIK,DUKUNGAN & PENOLAKAN

Rene Descartes

  Kritikan : 1.Descartes mendasari keraguannya mengenai objektivitas dunia luar, khususnya mengenai “keraguan mimpi”, dan bertanya: “bagaimana saya tahu bahwa saya tidak selalu melakukan apa yang biasanya saya anggap sebagai mimpi?”
2.Dalam hal” METAFISIKA”Dualismenya ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrim, baginya benda hidup selain manusia(cth:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai bentuk material sama halnya seperti mesin.
Dukungan : Descartes menggunakan iman ini untuk mendukung idenya ide-ide bawaan. Dia sangat mudah untuk mengatakan bahwa Tuhan itu ada dan menggunakannya sebagai bukti untuk sebuah konsep filosofis ide-ide bawaan karena ini tidak memerlukan dasar lainnya.
Penolakan : Descartes berperan dalam sebuah transisi epistemologis dan metodologis yang secara utuh menolak tradisi konsep ilmu pengetahuan skolastik.Dan mengubah paradigma lama dalam ilmu pengetahuan ke zaman modern


David hume

Kritik : Kritikan atas konsep sebab akibat yang umum ini bukanlah hal yang baru, tetapi digarap oleh hume secara luas sekali dengan ketekunan besar, dan perdebatan yang ditimbulkanya tetap merupakan salah satu masalah yang brelangsung terus dalam metafisika.
Kant mengkritik empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan menjadi dingin.
Dukungan : David Hume (1711-1776) adalah seorang filsuf Skotlandia yang berpandangan demikian, yang juga mendapat dukungan Immanuel Kant (1724-1804), yang menolak argumen klasik pembuktian secara metafisik tentang keberadaan Tuhan -sebagaimana diajarkan oleh St. Thomas Aquinas
Penolakan : Hume mengigkari prinsip kausalitas sebagai sebuah keniscahyaan yang kita percayai sambil berkeyakinan bahwa berbagai peristiwa di ala mini terjadi berurutan secara pasti.Dia bekeyakinan penyaksian luaran dan tuntutan fenomenal dari peristiwa-peristiwa alam tanpa kepastian yang kita sebut sebagai kasualitas.Dengan pengingkaran hubungan-hubungan penting antara fenomena- fenomena seperti ini,Hume menolak adanya induksi ilmiah jika kita menggambarkanya sebagai entitas berdiri diatas keniscahyaan  seraya berusaha untuk menyingkap hubungan- hubungan ini.
 Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika lahir.
Immanuel kant  Kritik: 1.hagel mengkritik terhadap karya kant yang judulnya Critique Pure Reason,namun tidak kejelasan maksud yang di pahami oleh hagel 2. kritik terhadap modernisme memunculkan apa yang disebut dengan postmodernisme.
Dukungan :
Penolakan : Immanuel Kant (1724-1804), yang menolak argumen klasik pembuktian secara metafisik tentang keberadaan Tuhan -sebagaimana diajarkan oleh St. Thomas Aquinas. William Ockham (1288-1348) yang menganggap bahwa manusia dengan akal budinya tak dapat memahami Allah. Akibat dari paham ini adalah dipisahkannya iman dan akal budi, sebagaimana diyakini juga John Wycliffe, Jan Hus dan Martin Luther.

KESIMPULAN

Di dalam era filsafat modern terdapat beberapa aliran pemikiran, di antaranya: Rasionalisme (Descartes),Empirisme (Hume) dan  Kritisisme (kant).
Rasionalisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif. Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan “aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang empiris.
Kritisisme dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy berusaha didamaikan Kant.
Disusun oleh : 
M.FATCHUR ROCHMAN, ARDI TRI NURYANTO, SULTONUL HALIMIN, TRI  SUGENG YANU, SITI FATIMAH, MAHFUD ( Prodi Komunikasi Fisib Universitas Trunojoyo Madura)

DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat modern 2. Jakarta: Kanisius
Magee, Bryan, 2001, The Story of Phylosopy, Yogyakarta: kanisius
Turnbull, neil. 2005. Filsafat: Jakarta
Wattimewa, reza A. A. 2008. Filsafat dan sains. Graindo: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar