Disusun oleh :
Eqi fahmi r.
Teguh surya r.
Hendra eka p.
Rabindra erik p.
Domi septi h
Diki
robi mulyana
Latar
belakang
Adanya eksistensialisme merupakan kausalitas dari manusia
atau individu yang berada di muka bumi ini,dengan berbagai cara manusia
menunjukkan keberadaannya atau eksistensinya,dari sinilah kita sebagai manusia
ingin lebih banyak tahu tentang apa yang di maksud eksistensialisme yang
sebenarnya.
Tujuan penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas sebagai
mahasiswa,selain itu juga sebagai penambah ilmu bagi kita,makalah ini terdapat
beberapa pengertian eksistensialisme
dari berbagai tokoh terkemuka,semoga isi dari makalah ini memberikan faedah
bagi kita semua.
Biografi tokoh
Jean Paul Sartre
Jean
Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari
keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan
ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas
Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh
ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre
dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan
bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi
ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif
terhadap hidup masa kanak-kanaknya.
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen
protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan
pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama
sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia
berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia
menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia
hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena
bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam
perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum
kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme
dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru
filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl.
Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat
eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan
dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang
Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk
tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia.
Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan
atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia
harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain
adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.
Martin Heidegger
Martin
Heidegger lahir tanggal 26 September 1889 di kota kecil messkirch baden, jerman
dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di eropa dan amerika
selatan. http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Freibur Ia
menerima gelar doctor dalam bidang filsafat dari universitas Freiburg dimana ia
belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi).
Disertasinya berjudul die lehre von urteil in psycologismus (ajaran tentang
putusan dalam psikolog). Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik
santo mortinus. Sebelumnya ia kuliah di fakultas theology sampai empat semester
lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan heinrich rickert, penganut filsafat
neo-kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh kepadanya.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada").
Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Hal ini yang mengakibatkan kaum Platonis seperti George Grant menghargai kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya.
Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard. Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan.
Begitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak metafisika barat. Karya Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche's Will to Power as Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada seseorang di dalam dunia. http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Freiburhttp://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Freibur.
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Edmund Husserl adalah pendiri dan tokoh utama aliran ini, sementara Heidegger adalah mahasiswanya dan hal inilah yang meyakinkan Heidegger untuk menjadi seorang fenomenolog. Heidegger menjadi tertarik akan pertanyaan tentang "Ada" (atau apa artinya "berada").
Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Gagasan tentang Ada berasal dari Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dari filsafat Barat. Persoalan tentang keberadaan dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dari Plato hingga Descartes, dan belakangan ini pada Masa Pencerahan. Heidegger berusaha mendasarkan Ada di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikat atau makna yang sesungguhnya dalam artian kemampuannya untuk kita pahami.
Demikianlah Heidegger memulai di mana Ada itu dimulai, yakni di dalam filsafat Yunani, membangkitkan kembali suatu masalah yang telah lenyap dan yang kurang dihargai dalam filsafat masa kini. Upaya besar Heidegger adalah menangani kembali gagasan Plato dengan serius, dan pada saat yang sama menggoyahkan seluruh dunia Platonis dengan menantang saripati Platonisme - memperlakukan Ada bukan sebagai sesuatu yang nirwaktu dan transenden, melainkan sebagai yang imanen (selalu hadir) dalam waktu dan sejarah. Hal ini yang mengakibatkan kaum Platonis seperti George Grant menghargai kecemerlangan Heidegger sebagai seorang pemikir meskipun mereka tidak setuju dengan analisisnya tentang Ada dan konsepsinya tentang gagasan Platoniknya.
Meskipun Heidegger adalah seorang pemikir yang luar biasa kreatif dan asli, dia juga meminjam banyak dari pemikiran Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard. Heidegger dapat dibandingkan dengan Aristoteles yang menggunakan dialog Plato dan secara sistematis menghadirkannya sebagai satu bentuk gagasan.
Begitu juga Heidegger mengambil intisari pemikiran Nietzsche dari sebuah fragmen yang tak terbit dan menafsirkannya sebagai bentuk puncak metafisika barat. Karya Heidegger berupa transkrip perkuliahan selama 1936 tentang Nietzsche's Will to Power as Art kurang bernilai akademis dibandingkan karyanya sendiri yang lebih asli. Konsep Heidegger tentang kecemasan angst dan das sein berasal dari konsep Kierkegaard tentang kecemasan, pentingnya relasi subjektivitas dengan kebenaran, eksistensi di hadapan kematian, kesementaraan eksistensi, dan pentingnya afirmasi diri dari Ada seseorang di dalam dunia. http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Freiburhttp://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Freibur.
Pengertian eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara
khusus mendeskripsikaneksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu
reaksi kontras terhadap materialisme danidealisme. Pendapat materialisme yakni
manusia adalah benda dunia, manusia itu adalahmateri, manusia adalah sesuatu
yang ada tanpa menjadi subjek, sedangkan pandanganidealisme menyebutkan idea
secara umum, yang mana kedua aliran tersebut sangat bersebrangan dengan
filsafat eksistensialisme.Eksistensialisme bermula dari kritik yang diberikan
oleh Kierkegaard kepadaHegel, yang sekaligus menjatuhkan paham idealisme.
Keberatan utama yang diajukanoleh Kierrkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel
meremehkan eksistensi yangkongkrit karena Hegel mengutamakan idea secara umum.
Menurut Kierkegaard, manusiatidak pernah hidup sebagi suatu ”aku umum”, tetapi
sebagi “aku individual” yang samasekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu yang lain.Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang
bahwa segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi itu sendiri
berarti keberadaan, namun dalamfilsafat eksistensialisme mempunyai arti khusus
yaitu cara manusia berada di dalamdunia. Cara berada manusia di dalam dunia ini
berbeda dengan cara berada benda-bendalain karena keberadaan benda-benda lain
antara satu dan yang lain tidak berhubungan,sedangkan cara manusia berada di
dunia ini bersama sama dengan benda-benda itu dan benda benda itu menjadi
berarti karena manusia.Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya
berpusat pada manusiaindividu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secaramendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Maksudnya disini adalahseorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat
relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang
menurutnya benar. Sesuai dengandoktrin utamanya yaitu kebebasan,
eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap
kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Pemikiran Jean Paul Sartre
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan
kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme,
Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu
tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh
sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme, bahkan filsafat keputus-asaan yang
sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia
melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre
mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan
eksistentialisme. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai
sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik
dengan filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier,
dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal
yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi
konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal
yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap
menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia
mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen
disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu
melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa
yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa
eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat
manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan
kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada
subjektivitas murni---seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan
cogito-nya---karenanya, eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup
menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang
dialamatkan kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela
dirinya dan membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan
bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai
apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah
“eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan
salah-kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai
mendefinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup
manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu
ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu
mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia.
Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human
universality of condition. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah
awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang
eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir)
mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif. Apa
maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari
kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir
mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau
kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan, tentu
mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat,
kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu,
yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas
tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin,
mendahului eksistensinya. Dengan kata lain, produksinya mendahului
eksistensinya.
Di sini, kita memandang dunia dari sudut
pandang teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai
Sang Pencipta yang berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang”
supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini,
kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa
yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu, tiap individu manusia adalah
realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan
begitu, manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang
esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari
suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah itu animal rationale
(Aristoteles), atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of
nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia
mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh
Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang
eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia
dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu
adalah manusia. Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan
“eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis
(ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di
dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia
sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu
adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia
tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia
tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia,
sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Singkatnya, Manusia adalah.
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah
prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia
yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak
terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu
itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri
misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan
berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya.
Namun bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi
adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada,
katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa
manusia pertama-tama eksis----bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu
yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang
ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka
manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah
dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan
menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban
eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak
lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri.
Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu
bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua
distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek
individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui
subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang
pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua
inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang
kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan.
Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan
yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang
bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan yang kita
pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita
tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak
pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut
kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap
memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam
tulisannya ini yaitu tentang humanisme.
Pemikiran Martin Heidegger
Menurut Kierkegard, pertama-tama yang
penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan
tetapi harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu
"ada" yang statis, melainkan suatu "menjadi", yang
didalamnya mengandung didalamnya suatu perpindahan, yaitu perpindahan dari
"kemungkinan" ke "kenyataan". Apa yang semula berada
sebagai kemungkinan berubah atau bergerak menjadi kenyataan. Perpindahan atau
perubahan inilah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan
keluar dari kebebasan, yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia
adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.
Tiap eksistensi memiliki cirinya yang khas. Kiekergaard membedakan adanya 3 bentuk eksistensi, yaitu bentuk estetis, bentuk etis, dan bentuk religi.
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karna itu kata eksistensi diarrtikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan sesuatu, namun satu hal yang pasti bahwa dirinya ada. Dirinya itu disebut "aku". Segala sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku, dsb). Di dalam dunia manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang diluar dirinya. Ia menggunakan benda-benda disekitarnya. Dengan kesibukan itulah ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia luarnya. Demikianlah dia bereksistensi.
Bereksistensi seperti ini oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (disana) dan sein (berada), sehingga kata ini berrarti: berada disana, yaittu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya.
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam bermacam-macam system, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada cirri-ciri yang sama yang menjadikan system-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada 4 pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama diantaranya sebagai berikut:
1.Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistis.
2.Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3.Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4.Filsafat eksistensialisme member tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger member tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu; Marcel kepada pengalaman keagamaan, dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.
Menurut Heidegger, persoalan tentang "berada" ini hanya dapat dijawab melalui ontology, artinya: jikalau persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil, harus dipergunakan metode fenomenologis. Demikianlah yang penting ialah menemukan arti "berada" itu.
Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah berada -nya manusia. Harus dibedakan antara "berada" (sein) dan yang "berada" (seiende). Ungkapan seiende hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia, yang jika dipandang dari dirinya sendiri artinya terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia.
Secara fenomenologis, hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebut demikian, bahwa manusia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya dirangkumkan Heidegger dalam kata besorgen (memelihara). Hubungan asli yang dalam kesatuan antara dasein dan dunia adalah besorgen (memelihara). Di dalam dunia itu manusia tampak sebagai yang berbuat. Perbuatan itu bukan hanya dalam bentuk perbuatan yang kongkrit, tetapi jika manusia itu diam, ia berbuat. Ada suasana perbuatan praktis dan teoritis (manusia diam). Praktis, manusia bertemu dengan benda-benda dan berbuat dengan benda-benda tersebut, contoh: kayu jadi kursi, meja, dll. Dan manusia lebih disibukkan dengan perbuatan yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya. Demikianlah ciri khas Dasein adalah dunia dan memiliki dunia.
Dalam hidupnya sehari-hari manusia bersikap praktis, disibukkan dengan benda-benda yang tersedia untuk ditangani (zuhanden) sehingga benda-benda itu memiliki tabiatnya sendiri-sendiri, menjadi alat yang dipakai manusia. Benda-benda itu senantiasa diberi kaitan, dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Fungsi itu baru dimiliki jika telah ditentukan oleh manusia (kayu sebagai bahan bakar atau bahan bangunan).
Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar kepada 3 hal asasi yang penting, yaitu befindlichkeit atau kepekaan, verstehen atau mengerti, memahami, dan rede atau kata-kata atau hal berbicara.
Befindlichkeit atau kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa manusia merasa senang, kecewa, takut, dsb, itu bukan karena akibat pengamatan hal-hal yang bermacam-macam, tetapi suatu bentuk dari "berada di dalam dunia", suatu hubungan yang asli terhadap dirinya sendiri. Manusia berada di dalam dunia dengan kepekaan itu. Di dalam hidup sehari-hari ia dapat mendesakan kepekaan itu, dapat menindasnya atau mengalahkannya, akan tetapi tetap ia akan mengalami kepekaan itu. Inilah kenyataan hidupnya, inilah nasibnya. Ia telah "terlempar" (geworfen) ke situ. Oleh karena itu befindlichkeit atau kepekaan adalah pengalaman yang elementer menguasai realitas, itulah keadaan dimana dunia dihadapkan dengan kita, itulah keadaan dimana kita menemukan dan menjumpai dunia sebagai nasib, dan dimana kita sekaligus menghayati kenyataan eksistensi kita yang serba terbatas dan ditentukan. Jadi kepekaan mendasari sesuatu yang kongkrit.
Yang dimaksud dengan verstehen atau mengerti atau memahami ini bukan pengertian yang biasa, melainkan dasar segala pengertian. Jika befindlichkeit atau kepekaan dikatikan dengan segi nasib manusia, maka pengertian dikaitkan dengan kebebasan manusia. Hal mengerti ini bersangkut-paut dengan manusia dan kemungkinan-kemungkinannya. Manusia hidup dalam suatu kesadaran akan "berada"nya. Dilihat dari kesadaran akan "berada"-nya ini seluruh dunia penuh dengan kepentingan dan arti. Akan tetapi kepentingan-kepentingan dan arti itu hanya dapat dilihat dari kesatuannya dengan eksistensinya. Pertama-tama manusia tahu atau mengerti akan kemungkinan-kemungkinannya yang ada pada dirinya. Dari situ tampaklah dunia dengan segala kemungkinannya untuk dapat dipakai, diambil manfaatnya, dsb. Pengertian ini senantiasa diarahkan kepda kemungkinan akan sesuatu dan syarat-syaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena dalam pengertian ini telah tersirat struktur yang eksistensial, yang disebut entwurf atau rencana. Pengertian itu merencanakan "berada"-nya Dasein. Oleh karena itu manusia merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sendiri, dan sekaligus juga kemungkinan-kemungkinan dunia. Jadi verstehen atau pengertian termasuk cara berada manusia.
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan dengan arti. Di dalam ungkapan "mengerti" didalam hidup sehari-hari telah tersirat segala kemungkinan untuk menjelaskan sesuatu sebagai sesuatu dalam rangka rencana yang diarahkan kepada arah tertentu. Secara a priori manusia telah memiliki "daya untuk berbicara". Ia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu pemberitahuan.
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang, harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap-tahap yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Bagi Heidegger, waktu itu sama real-nya, dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan dan potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti inilah manusia terbentur pada kehilangan-kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal-hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia , karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.
Tiap eksistensi memiliki cirinya yang khas. Kiekergaard membedakan adanya 3 bentuk eksistensi, yaitu bentuk estetis, bentuk etis, dan bentuk religi.
Kata eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karna itu kata eksistensi diarrtikan manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan sesuatu, namun satu hal yang pasti bahwa dirinya ada. Dirinya itu disebut "aku". Segala sesuatu disekitarnya dihubungkan dengan dirinya (mejaku, kursiku, temanku, dsb). Di dalam dunia manusia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatannya. Ia mengalami dirinya sebagai pribadi. Ia menemukan pribadinya dengan seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang diluar dirinya. Ia menggunakan benda-benda disekitarnya. Dengan kesibukan itulah ia menemukan dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya dan sibuk dengan dunia luarnya. Demikianlah dia bereksistensi.
Bereksistensi seperti ini oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da (disana) dan sein (berada), sehingga kata ini berrarti: berada disana, yaittu di tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya.
Ajaran eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam bermacam-macam system, yang satu berbeda dengan yang lain. Sekalipun demikian ada cirri-ciri yang sama yang menjadikan system-sistem itu dapat dicap sebagai filsafat eksistensialisme. Paling sedikit ada 4 pemikiran yang jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, dan Gabriel Marcel.
Beberapa ciri yang dimiliki bersama diantaranya sebagai berikut:
1.Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistis.
2.Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3.Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia.
4.Filsafat eksistensialisme member tekanan kepada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger member tekanan pada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu; Marcel kepada pengalaman keagamaan, dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan.
Menurut Heidegger, persoalan tentang "berada" ini hanya dapat dijawab melalui ontology, artinya: jikalau persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Agar supaya usaha ini berhasil, harus dipergunakan metode fenomenologis. Demikianlah yang penting ialah menemukan arti "berada" itu.
Satu-satunya berada yang sendiri dapat dimengerti sebagai berada ialah berada -nya manusia. Harus dibedakan antara "berada" (sein) dan yang "berada" (seiende). Ungkapan seiende hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan manusia, yang jika dipandang dari dirinya sendiri artinya terpisah dari segala yang lain, hanya berdiri sendiri. Benda-benda itu hanya "vorhanden", artinya hanya terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang itu. Benda-benda itu hanya berarti jika dihubungkan dengan manusia.
Secara fenomenologis, hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebut demikian, bahwa manusia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya dirangkumkan Heidegger dalam kata besorgen (memelihara). Hubungan asli yang dalam kesatuan antara dasein dan dunia adalah besorgen (memelihara). Di dalam dunia itu manusia tampak sebagai yang berbuat. Perbuatan itu bukan hanya dalam bentuk perbuatan yang kongkrit, tetapi jika manusia itu diam, ia berbuat. Ada suasana perbuatan praktis dan teoritis (manusia diam). Praktis, manusia bertemu dengan benda-benda dan berbuat dengan benda-benda tersebut, contoh: kayu jadi kursi, meja, dll. Dan manusia lebih disibukkan dengan perbuatan yang praktis yang berkaitan dengan dunia yang dijumpainya. Demikianlah ciri khas Dasein adalah dunia dan memiliki dunia.
Dalam hidupnya sehari-hari manusia bersikap praktis, disibukkan dengan benda-benda yang tersedia untuk ditangani (zuhanden) sehingga benda-benda itu memiliki tabiatnya sendiri-sendiri, menjadi alat yang dipakai manusia. Benda-benda itu senantiasa diberi kaitan, dijadikan alat untuk melakukan sesuatu. Fungsi itu baru dimiliki jika telah ditentukan oleh manusia (kayu sebagai bahan bakar atau bahan bangunan).
Manusia terbuka bagi dunianya dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar kepada 3 hal asasi yang penting, yaitu befindlichkeit atau kepekaan, verstehen atau mengerti, memahami, dan rede atau kata-kata atau hal berbicara.
Befindlichkeit atau kepekaan ini diungkapkan dalam bentuk perasaan dan emosi. Bahwa manusia merasa senang, kecewa, takut, dsb, itu bukan karena akibat pengamatan hal-hal yang bermacam-macam, tetapi suatu bentuk dari "berada di dalam dunia", suatu hubungan yang asli terhadap dirinya sendiri. Manusia berada di dalam dunia dengan kepekaan itu. Di dalam hidup sehari-hari ia dapat mendesakan kepekaan itu, dapat menindasnya atau mengalahkannya, akan tetapi tetap ia akan mengalami kepekaan itu. Inilah kenyataan hidupnya, inilah nasibnya. Ia telah "terlempar" (geworfen) ke situ. Oleh karena itu befindlichkeit atau kepekaan adalah pengalaman yang elementer menguasai realitas, itulah keadaan dimana dunia dihadapkan dengan kita, itulah keadaan dimana kita menemukan dan menjumpai dunia sebagai nasib, dan dimana kita sekaligus menghayati kenyataan eksistensi kita yang serba terbatas dan ditentukan. Jadi kepekaan mendasari sesuatu yang kongkrit.
Yang dimaksud dengan verstehen atau mengerti atau memahami ini bukan pengertian yang biasa, melainkan dasar segala pengertian. Jika befindlichkeit atau kepekaan dikatikan dengan segi nasib manusia, maka pengertian dikaitkan dengan kebebasan manusia. Hal mengerti ini bersangkut-paut dengan manusia dan kemungkinan-kemungkinannya. Manusia hidup dalam suatu kesadaran akan "berada"nya. Dilihat dari kesadaran akan "berada"-nya ini seluruh dunia penuh dengan kepentingan dan arti. Akan tetapi kepentingan-kepentingan dan arti itu hanya dapat dilihat dari kesatuannya dengan eksistensinya. Pertama-tama manusia tahu atau mengerti akan kemungkinan-kemungkinannya yang ada pada dirinya. Dari situ tampaklah dunia dengan segala kemungkinannya untuk dapat dipakai, diambil manfaatnya, dsb. Pengertian ini senantiasa diarahkan kepda kemungkinan akan sesuatu dan syarat-syaratnya untuk mencapai sesuatu itu. Hal ini disebabkan karena dalam pengertian ini telah tersirat struktur yang eksistensial, yang disebut entwurf atau rencana. Pengertian itu merencanakan "berada"-nya Dasein. Oleh karena itu manusia merencanakan dan merealisasikan kemungkinan-kemungkinannya sendiri, dan sekaligus juga kemungkinan-kemungkinan dunia. Jadi verstehen atau pengertian termasuk cara berada manusia.
Rede atau hal berbicara mewujudkan asas yang eksistensial bagi kemungkinan untuk berbicara dan berkomunikasi serta bagi bahasa. Kata-kata berhubungan dengan arti. Di dalam ungkapan "mengerti" didalam hidup sehari-hari telah tersirat segala kemungkinan untuk menjelaskan sesuatu sebagai sesuatu dalam rangka rencana yang diarahkan kepada arah tertentu. Secara a priori manusia telah memiliki "daya untuk berbicara". Ia adalah makhluk yang dapat berbicara. Sambil berbicara ia mengungkapkan diri. Pengungkapannya adalah suatu pemberitahuan.
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang, harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap-tahap yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara masa lalu, sekarang, dan akan datang.
Bagi Heidegger, waktu itu sama real-nya, dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan-kemungkinan dan potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti inilah manusia terbentur pada kehilangan-kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal-hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia , karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.
Kritik dan tanggapan atas pandangan Jean Paul
Sartre
Jeff
Mason dalam tulisannya di philosophers.net pernah mengatakan bahwa lebih indah
dan lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu daripada eksistensi.
Ia dapat beristirahat dengan damai dalam relung nasib dan tidak perlu berjuang
dengan susah-payah untuk mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak
perlu ada pilihan-pilihan eksistensialis, tidak akan ada tanggungjawab yang tak
terpikul, tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat tinggal berharap akan
imortalitas dan dunia “di sana.” Namun justru di sinilah kritik Sartre masuk
dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-deception atau istilah
Sartre mauvaise foi) dengan menghindar dari tanggungjawab pelibatan
(engagement), lebih-lebih dalam artian sosial-politis. Walter Kaufmann
bagaimanapun juga menafsirkan situasi manusia yang Sartre bangun dengan
filsafatnya sebagai situasi yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat dengan
dunia Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam pandangan
Buddhist di mana life follows on life and salvation remains always possible.
Ada
situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan pilihan yang kita buat,
kita tidak bisa lari dari rasa bersalah. Walau demikian, dalam rasa bersalah
dan kegagalan itu manusia tetap dapat mempertahankan integritasnya dan
memberontak terhadap kungkungan-kungkungan maupun ancaman-ancaman yang datang
dari dunia. Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam mengartikan
eksistensi eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa meratap bersama John
Macquarrie yang mengatakan bahwa semakin kita berbicara tentang kebebasan,
semakin kebebasan itu tidak menjadi jelas artinya karena sifatnya yang elusif. Sudah
barang tentu, Sartre agak naïve saat mengatakan bahwa manusia itu bebas secara
total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri.
Frederick Copleston lebih realistis tatkala
berkomentar bahwa kebebasan kita itu sudah barang tentu dibatasi oleh segala macam
faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Apa saja misalnya? Faktor-faktor
fisik dan psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang
dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari (atau bagi saya,
lebih tepatnya, tatkala kita masih belum sampai pada tahap kesadaran untuk
menyadari sesuatu yang membentuk diri kita). Mungkin yang baik saya anjurkan di
sini, belajar dari Sartre, adalah bahwa manusia itu dalam menentukan
dirinya, ia terbuka terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan (opennes to
possibilities).
Dalam ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa
batas itulah manusia eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap
janjinya (komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik
dan manusiawi. Dalam konteks sejarah di mana Sartre hidup (dunia yang
dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi tentara Jerman ke kota Paris pada
tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama ‘kemanusiaan’ demi pemurnian ras yang
berujung pada puncak tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu peristiwa
Holocaust.) kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan
lantang mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para
penguasa/régime yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melecehkan harkat kemanusiaan,
entah dengan excuse ilmiah dan demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd)
maupun dengan menghindar dari tanggungjawab sosial sembari berkata “kami tidak
bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami. Itu sudah merupakan keniscayaan
sejarah.”
Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan
bukunya Existentialism and Humanism, kita dipanggil untuk menemukan otentisitas
(authenticité) diri kita sebagai individu di tengah kepungan fenomena massa
yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan teknologi-informasi yang
semakin cepat berkembang di satu sisi namun juga semakin cepat mendevaluasi
martabat manusia di sisi lain; dalam budaya pop yang menyetir
keinginan-keinginan manusia dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan
berarti merampas hak manusia untuk menentukan dirinya sendiri:
self-determination). Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis Sartre atas
situasi manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.
Kritikan terhadap
Martin Heidegger
Pentingnya Heidegger
ke dunia filsafat kontinental (yang sebagian besar diciptakan, karena tidak ada
perbedaan antara analitik dan filsafat kontinental sebelum dia) mungkin tak
tertandingi. Penerimaan-Nya di antara filsuf dari sekolah analitik,
bagaimanapun, ini lain cerita. Menyimpan review agak menguntungkan oleh Gilbert
Ryle dalam Pikiran jurnal Menjadi dan Waktu pada saat publikasi, sezaman
Heidegger dari tradisi analitik (yang masih muda, tapi sudah cukup tajam
digambarkan dari cabang lain dari filsafat) umumnya dianggap baik konten,
sejauh mereka percaya ada akan ada sama sekali, dan gaya dengan mana ia
menyampaikan itu, sebagai bukti dari cara terburuk mungkin berfilsafat.
Tradisi kejelasan
nilai-nilai ekspresi analitik, sedangkan Heidegger berpikir bahwa "membuat
dirinya dimengerti adalah bunuh diri bagi filsafat." Terlepas dari tuduhan
obskurantisme, filsuf analitik umumnya dianggap sebagai konten yang sebenarnya
yang dapat dipetik dari kerja Heidegger untuk menjadi baik trivial palsu, tidak
dapat diverifikasi atau tidak menarik. Pandangan ini sebagian besar telah
selamat, dan Heidegger masih dibicarakan dengan cemoohan di tempat yang paling
filsafat analitis, dan pengaruhnya dianggap telah bencana bagi filsafat, dalam
garis yang jelas dapat ditelusuri dari itu untuk varietas yang paling pemikiran
filsafat postmodern.
Kesimpulan
Eksistensialisme adalah gerakan filsafat yang
mengusung ide bahwa manusia menciptakan makna dan hakekat hidup mereka sendiri.
Karenanya, filsafat harus mengacu pada manusia yang konkrit, yaitu manusia
sebagai eksistensi.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar
dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat.Eksistensialisme mempersoalkan
keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan. Filsafat ini
bermula dari kritik Kierkegaard kepada Hegel, yang sekaligus menjatuhkan paham
idealisme. Keberatan utama yang diajukan oleh Kierrkegaard kepada Hegel ialah
karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit karena Hegel mengutamakan idea
secara umum. Dan kemudian didukung oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Martin
Heidegger, dan Jean Paul Sartre .Eksistensialisme juga memiliki peran penting
dalam bidang pendidikan terutama untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang
berkualitas dan mampu tumbuh sebagai individu yang eksistensialis, sehingga
mampu mengembangkan semua potensinya untuk pengembangan dirinya.
Saran
Eksistensialisme bisa lebih diperdalam dan
dipahami lagi, karena filsafat inisangat bermanfaat dalam bidang-bidang utama,
seperti pendidikan yang nantinya bisamembentuk Sumber Daya Manusia yang
berkualitas. Sehingga dengan memperkenalkanseluk-beluk mengenai filsafat ini
kepada mahasiswa khususnya dan masyarakat padaumumnya dapat dijadikan bahan
pedoman untuk melangkah ke depannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar