Kamis, 18 Februari 2016

Formalin dan Komunikasi Politik

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/16/opi02.html

Formalin dan Komunikasi Politik Pemerintah 
Oleh
Mochtar W Oetomo

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), meluncurkan pengumuman menghebohkan. 
Penelitian badan tersebut atas sekitar 700 sampel tahu, mie basah dan ikan asin 
yang diambil dari Pulau Jawa, Sulawesi Selatan dan Lampung awal bulan ini, 
menyatakan 56 persen mengandung formalin. Bahkan, 70 persen mie basah 
mengandung formalin. 


Hasil penelitian ini menjadi heboh manakala BPOM pada saat bersamaan juga 
memberikan analisis, konsumsi formalin yang berlebihan bisa merusak pencernaan 
akut dan bahkan kanker. Berita itu sebagai teror baru setelah demam berdarah 
(DBD), cikungunya, SARS, flu burung dan penyakit lain yang silih berganti 
menjadi berita-berita menakutkan. Menjadi teror akibat tidak proporsional dan 
komprehensipnya komunikasi politik pemerintah dalam memberikan penjelasan 
tentang berbagai penyakit kepada masyarakat.


Lebih-lebih lagi ketika masyarakat menyadari BPOM baru akan menelusuri pemasok 
bahan makanan yang diawetkan dengan formalin yang biasa digunakan untuk 
mengawetkan mayat. Tim BPOM baru turun ke lapangan untuk menelusuri pemasok 
formalin. Sungguh mengherankan karena masalah makanan berformalin sudah sering 
diungkap media. Sangat aneh kalau BPOM berlagak "pilon". Seharusnya hal itu 
dilakukan jauh hari sebelumnya karena merupakan bagian dari tugasnya. 

UU-nya Ada 
Sebenarnya, tidak sulit untuk menangkap pelaku dan penjual formalin karena 
semuanya dilakukan secara terbuka. Formalin bisa dibeli di apotik dan toko obat 
maupun pedagang dengan mudah. Jadi, BPOM bisa mengambil tindakan segera kalau 
memang mau. Memang untuk menindak pelakunya harus menempuh prosedur, dalam hal 
ini kewenangan itu dari aparat kepolisian. Dan aparat penyidik bisa bertindak 
tegas karena UU-nya ada, yakni UU No 7/1996 tentang Pangan.

 
Menurut UU itu pelaku pelanggaran diancam hukuman penjara maksimal lima tahun 
dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Juga ada UU No 8/1999 tentang 
Perlindungan Konsumen. Peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) No 
1168/Menkes/PER/X/1999 juga melarang penggunaan formalin nama dagang dari 
'formaldehid' dalam air dengan kadar 30-40 persen sebagai bahan tambahan pangan 
(BTP) karena dapat membahayakan kesehatan. 


Saat ini sangat sulit bagi masyarakat untuk bisa menghindari makanan tanpa 
formalin maupun tanpa pewarna yang membahayakan kesehatan. Itu karena lemahnya 
perhatian dari Depkes, BPOM, kepolisian dan masyarakat. 


Dan tentu saja karena selama ini tidak pernah ada informasi dan penjelasan yang 
cukup memadai dari pemerintah tentang ekses-ekses yang mungkin ditimbulkan dari 
konsumsi yang berlebihan terhadap zat formalin. 


Dalam kondisi ketertutupan informasi masyarakat yang semacam ini membuat 
pengusaha makanan dan minuman semakin leluasa mengeruk keuntungan semata tanpa 
melihat efek samping yang timbul di masyarakat dengan timbulnya beragam 
penyakit berbahaya akibat formalin ini.
Seharusnya pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat juga tanggap. 
Masyarakat perlu diberi informasi yang terus-menerus seputar maraknya makanan 
berformalin ini serta bahaya dan penyakit yang ditimbulkannya, sehingga 
masyarakat bisa berhati-hati dalam mengonsumsi makanannya sehari-hari. 


Komunikasi politik yang lebih intensif, proporsional dan komprehensif tentang 
formalin dan tentang zat-zat berbahaya atau penyakit mematikan lainnya harus 
terus dilakukan.

Penindakan 
Kalau mendengar pengakuan para pengusaha tahu bahwa mereka berterus terang 
menggunakan formalin untuk membuat bentuk tahunya cantik, awet/tahan lama, dan 
tetap akan menggunakannya sampai terdapat bahan lain sebagai penggantinya, 
tentunya kita prihatin. Artinya, bahan formalin sudah menjadi bahan penting 
dalam pembuatan tahu. Padahal umumnya mereka tahu dampak yang ditimbulkannya. 


Formalin merupakan bahan kimia yang bersifat 'karsinogenik' (penyebab kanker) 
dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel dan jaringan), kandungan formalin 
yang tinggi dalam tubuh menyebabkan iritasi lambung, alergi, keracunan dan 
bahkan kematian. 


Kurang bijaksana jika pemerintah, BPOM hanya memberi peringatan agar masyarakat 
berhati-hati dalam membeli makanan yang menggunakan formalin. Sebab, sangat 
sulit bagi konsumen mengetahuinya, mana tahu ikan asin berformalin dan yang 
tidak.


Oleh karena itu, upaya penindakan terhadap pengusaha makanan yang menggunakan 
formalin harus dilakukan segera. Begitu juga terhadap penjualan formalin perlu 
diberikan sanksi berat. Tak pelak lagi, semua pihak harus menaruh perhatian 
dalam hal pemakaian bahan-bahan yang membahayakan kesehatan tubuh manusia. 
Kalau tidak bakal banyak menimbulkan korban di masa mendatang. Apalagi masalah 
pemakaian formalin ini bakal menimpa semua lapisan masyarakat. 


Segera lakukan upaya penertiban dan pengetatan prosedur pemakaian bahan-bahan 
pengawet pangan, terutama bahan kimia yang peruntukannya bukan untuk keperluan 
pangan, seperti formalin, boraks, pewarna dari bahan cat dll. Jika tidak, 
tunggu saja tragedi-tragedi yang memilukan di berbagai kota akan segera 
menjemput, susul menyusul, silih berganti.

Penulis adalah staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar