http://www.sinarharapan.co.id/berita/0601/16/opi02.html Formalin dan Komunikasi Politik Pemerintah Oleh Mochtar W Oetomo Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), meluncurkan pengumuman menghebohkan. Penelitian badan tersebut atas sekitar 700 sampel tahu, mie basah dan ikan asin yang diambil dari Pulau Jawa, Sulawesi Selatan dan Lampung awal bulan ini, menyatakan 56 persen mengandung formalin. Bahkan, 70 persen mie basah mengandung formalin. Hasil penelitian ini menjadi heboh manakala BPOM pada saat bersamaan juga memberikan analisis, konsumsi formalin yang berlebihan bisa merusak pencernaan akut dan bahkan kanker. Berita itu sebagai teror baru setelah demam berdarah (DBD), cikungunya, SARS, flu burung dan penyakit lain yang silih berganti menjadi berita-berita menakutkan. Menjadi teror akibat tidak proporsional dan komprehensipnya komunikasi politik pemerintah dalam memberikan penjelasan tentang berbagai penyakit kepada masyarakat. Lebih-lebih lagi ketika masyarakat menyadari BPOM baru akan menelusuri pemasok bahan makanan yang diawetkan dengan formalin yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat. Tim BPOM baru turun ke lapangan untuk menelusuri pemasok formalin. Sungguh mengherankan karena masalah makanan berformalin sudah sering diungkap media. Sangat aneh kalau BPOM berlagak "pilon". Seharusnya hal itu dilakukan jauh hari sebelumnya karena merupakan bagian dari tugasnya. UU-nya Ada Sebenarnya, tidak sulit untuk menangkap pelaku dan penjual formalin karena semuanya dilakukan secara terbuka. Formalin bisa dibeli di apotik dan toko obat maupun pedagang dengan mudah. Jadi, BPOM bisa mengambil tindakan segera kalau memang mau. Memang untuk menindak pelakunya harus menempuh prosedur, dalam hal ini kewenangan itu dari aparat kepolisian. Dan aparat penyidik bisa bertindak tegas karena UU-nya ada, yakni UU No 7/1996 tentang Pangan. Menurut UU itu pelaku pelanggaran diancam hukuman penjara maksimal lima tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Juga ada UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Menteri Kesehatan (Menkes) No 1168/Menkes/PER/X/1999 juga melarang penggunaan formalin nama dagang dari 'formaldehid' dalam air dengan kadar 30-40 persen sebagai bahan tambahan pangan (BTP) karena dapat membahayakan kesehatan. Saat ini sangat sulit bagi masyarakat untuk bisa menghindari makanan tanpa formalin maupun tanpa pewarna yang membahayakan kesehatan. Itu karena lemahnya perhatian dari Depkes, BPOM, kepolisian dan masyarakat. Dan tentu saja karena selama ini tidak pernah ada informasi dan penjelasan yang cukup memadai dari pemerintah tentang ekses-ekses yang mungkin ditimbulkan dari konsumsi yang berlebihan terhadap zat formalin. Dalam kondisi ketertutupan informasi masyarakat yang semacam ini membuat pengusaha makanan dan minuman semakin leluasa mengeruk keuntungan semata tanpa melihat efek samping yang timbul di masyarakat dengan timbulnya beragam penyakit berbahaya akibat formalin ini. Seharusnya pemerintah, instansi terkait, dan masyarakat juga tanggap. Masyarakat perlu diberi informasi yang terus-menerus seputar maraknya makanan berformalin ini serta bahaya dan penyakit yang ditimbulkannya, sehingga masyarakat bisa berhati-hati dalam mengonsumsi makanannya sehari-hari. Komunikasi politik yang lebih intensif, proporsional dan komprehensif tentang formalin dan tentang zat-zat berbahaya atau penyakit mematikan lainnya harus terus dilakukan. Penindakan Kalau mendengar pengakuan para pengusaha tahu bahwa mereka berterus terang menggunakan formalin untuk membuat bentuk tahunya cantik, awet/tahan lama, dan tetap akan menggunakannya sampai terdapat bahan lain sebagai penggantinya, tentunya kita prihatin. Artinya, bahan formalin sudah menjadi bahan penting dalam pembuatan tahu. Padahal umumnya mereka tahu dampak yang ditimbulkannya. Formalin merupakan bahan kimia yang bersifat 'karsinogenik' (penyebab kanker) dan mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel dan jaringan), kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh menyebabkan iritasi lambung, alergi, keracunan dan bahkan kematian. Kurang bijaksana jika pemerintah, BPOM hanya memberi peringatan agar masyarakat berhati-hati dalam membeli makanan yang menggunakan formalin. Sebab, sangat sulit bagi konsumen mengetahuinya, mana tahu ikan asin berformalin dan yang tidak. Oleh karena itu, upaya penindakan terhadap pengusaha makanan yang menggunakan formalin harus dilakukan segera. Begitu juga terhadap penjualan formalin perlu diberikan sanksi berat. Tak pelak lagi, semua pihak harus menaruh perhatian dalam hal pemakaian bahan-bahan yang membahayakan kesehatan tubuh manusia. Kalau tidak bakal banyak menimbulkan korban di masa mendatang. Apalagi masalah pemakaian formalin ini bakal menimpa semua lapisan masyarakat. Segera lakukan upaya penertiban dan pengetatan prosedur pemakaian bahan-bahan pengawet pangan, terutama bahan kimia yang peruntukannya bukan untuk keperluan pangan, seperti formalin, boraks, pewarna dari bahan cat dll. Jika tidak, tunggu saja tragedi-tragedi yang memilukan di berbagai kota akan segera menjemput, susul menyusul, silih berganti. Penulis adalah staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya
Kamis, 18 Februari 2016
Formalin dan Komunikasi Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar