Kamis, 18 Februari 2016

Berita KELAPARAN

Berita Kelaparan dari Yahukimo

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0512/20/opi02.html

Berita Kelaparan dari Yahukimo 
Oleh
Mochtar W Oetomo

Berita tentang kelaparan di Yahukimo, Papua, menjadi kontroversi. Sama halnya dengan berita tentang
gaji Wapres yang dilansir media beberapa waktu lalu. Berita kelaparan inipun mendapat reaksi keras
karena persoalan keakuratan data. Wapres Jusuf Kalla marah-marah kepada pers, karena apa yang
diberitakan media tentang besar gajinya tidak di dasarkan pada data akurat sehingga berita tersebut
keliru semua dan cenderung menyesatkan.

 
Sama persis dengan marahnya beberapa pejabat teras terhadap pemberitaan jumlah warga yang meninggal
karena kelaparan di Yahukimo. Beberapa menteri mengatakan pers cenderung membesar-besarkan kabar
dari Papua tersebut. Kembali fungsi kontrol pers dipertanyakan.

Jika pers selalu menyebut angka 55 (terakhir menjadi 80, SH, 17 Desember) korban mreninggal karena
kelaparan, Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari dan Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal
Bakri membantah jika ke- 55 penduduk yang meninggal itu karena kelaparan. Berdasar data yang lebih
akurat, kata kedua menteri tersebut, bencana itu tidak benar karena kelaparan, tetapi karena faktor
lainnya, seperti penyakit, usia tua dan stres karena gagal panen.

Faktanya, melalui media publik menyaksikan bagaimana kondisi alam dan kehidupan rakyat di Yahukimo.
Bisa dilihat kondisi fisik mereka yang kurus, terlihat jelas tonjolan tulang-tulangnya. Kita juga bisa
menyaksikan bagaimana tanaman ubi jalar yang dicabut warga tidak berisi, bahkan akarnya membusuk
karena sedang musim penghujan. Jadi, apa gunanya dibantah. 

Buang Badan 
Sungguh sangat disayangkan kalau Menkes yang tidak berani datang ke Yahukimo mati-matian membantah
bencana kelaparan tersebut. Ada apa dengan Menkes? Sedangkan Menko Kesra hanya menyaksikan satu-dua
lokasi dari puluhan lokasi yang dilanda bencana kelaparan. Kesimpulan Aburizal Bakri, yang terjadi di
Yahukimo baru ancaman kelaparan atau gejala awal saja, bukan bencana kelaparan, tampaknya juga tidak
kuat. 

Sebagai Menkes dan Menko Kesra, juga menteri dan apatur pemerintahan lainnya, harusnya mengerti tugas
dan tanggung jawabnya. Tidak etis menteri "buang badan" dalam masalah rakyatnya. 
Sebenarnya, bencana kelaparan tidak hanya melanda daerah-daerah terisolir di Papua. Bencana yang sama
juga melanda beberapa daerah lainnya di Indonesia. Munculnya penyakit busung lapar, kekurangan gizi
dan lain lain merupakan bukti pemerintah kurang memperhatikan rakyatnya. Bahkan di daerah perkotaan
sudah banyak warga yang tidak mampu lagi makan nasi secara normal, sehingga menggantinya dengan ubi,
jagung dll.

Sungguh memprihatinkan dan merupakan citra buruk bagi pemerintah kalau sampai bencana kelaparan
terjadi melanda Indonesia yang dikenal subur tanahnya. Betul-betul di luar dugaan kalau faktanya
seperti di Papua karena sebelumnya kita hanya menyaksikan "tengkorak hidup" di Ethopia, Kenya, dan
negara-negara miskin di Afrika lainnya. Sekarang pemandangan mengenaskan itu sudah dialami sebagian
rakyat Indonesia. 

Apalagi belakangan ini sejumlah wabah penyakit menyerang negara kita, seperti polio, demam berdarah,
flu burung, antraks, cikungunya dll. Semuanya itu merupakan tantangan buat pemerintah untuk cepat
tanggap guna menyelamatkan masyarakat dari serangan penyakit berbahaya. 

Daerah Terpencil 
Meskipun bencana-bencana itu umumnya terjadi di daerah terpencil, bukan berarti pemerintah bisa acuh
atas bencana yang terjadi di berbagai daerah saat ini. Pemerintah harus tanggap dan cepat turun tangan,
memberi bantuan kepada para korban dan mengupayakan solusi secepatnya sehingga jumlah korban tidak
semakin banyak. 

Tidak sepatutnya pemerintah dalam hal ini Menkes dan Menko Kesra membantah fakta yang terjadi di
Yahukimo. Kalaupun tidak seluruhnya korban di Yahukimo meninggal karena kelaparan, namun
informasinya merupakan peringatan buat pemerintah. Ini pelajaran berharga buat pemerintah dan
jajarannya mulai gubernur, bupati, wali kota, camat hingga lurah. 

Bukan malah marah-marah karena dikritik media massa. Sangat disayangkan kalau liputan sosial kontrol
dari pers dianggap mengada-ada, bahkan dinilai mempermalukan citra pemerintah. Apalagi kalau
wartawannya menjadi korban penganiayaan. 

Sangat naif dan harus dikecam bila ada pihak-pihak yang melakukan tindakan semena-mena terhadap
wartawan di lapangan. Wartawan tidak akan memberitakan bencana kelaparan jika informasinya tidak
benar. Untuk itulah wartawan yang diawasi kode etik jurnalistik wajib terjun ke lapangan dan melakukan
konfirmasi sebelum memberitakan.

Kita patut curiga dengan sikap Menkes dan Menko Kesra yang membantah bencana kelaparan di Yahukimo. Itu
pola Orde Baru untuk memuaskan atasan, menindas rakyat. Sudah bukan masanya memberikan laporan "ABS"
kepada pimpinan di era keterbukaan saat ini. 

Penulis adalah Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar