http://permalink.gmane.org/gmane.org.region.indonesia.nextbetter/5681
JK, Puisi, dan Media
Oleh
Mochtar W. Oetomo
Bukan hanya karena sosoknya (populer) sebagai Wakil Presiden (Wapres) yang membuat Jusuf Kalla (JK)
menjadi sumber yang terus diburu oleh media. Tapi juga karena kiprah dan statement-statement-nya yang
kerap kontroversial adalah sesuatu yang amat disukai media.
Sebagai seorang pejabat, JK dikenal kurang suka dikritik, tapi amat suka menebar kritik pada pihak-pihak
yang dianggap berseberangan atau tidak menyukai kebijakan pemerintah. Kasus kenaikan BBM dan reshufle
kabinet banyak memberi contoh tentang hal ini.
Mungkin karena sadar akan sosok JK yang kerap muncul di media inilah, Prof Winarno Surahman enggan
melemparkan kritik secara langsung pada JK. Meski berhadapan muka, Prof Winarno lebih suka melemparkan
kritik melalui medium puisi. Dan justru karena puisi kritiknya inilah Prof Winarno dan JK sama-sama
menjadi diskursus media. Apa pasal?
Demikianlah kira-kira bait puisi Prof Winarno Surahman tersebut: ”Apa artinya bertugas mulia ketika
kami hanya terpinggirkan, tanpa ditanya tanpa disapa. Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam.
Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah terbaca torehan darah kering: Di sini terbaring
seorang guru, semampu membaca bungkus sambil belajar menahan lapar, hidup sebulan dari gaji sehari.”
Gara-gara puisi tersebut upacara Hari Guru/PGRI ke-60 di Solo berlangsung ”mencekam” dikarenakan
JK terpancing emosi. JK rupanya ”berkuping tipis”, tidak dapat menerima kritikan meskipun
disampaikan lewat media puisi, walaupun kritikan itu datang dari profesor pendidikan dan dikemas dalam
kata-kata berbalut sastra.
JK tidak terima kaum intelektual, terpelajar, pendidik/guru ikut menjelek-jelekkan bangsanya.
Mungkin kalau kritikan puisi ”kandang ayam” itu dilontarkan tokoh lain, seperti politikus, JK
tidak akan marah karena ia mengerti betul percaturan dunia politik.
Banyak Fakta
Dan baru kali inilah sebuah puisi menjadi berita besar, menjadi headline surat kabar nasional dan lokal .
Dalam penulisan puisi setiap kata demi kata dan rangkaian kalimat harus mempunyai makna dan tujuan.
Puisi yang komunikatif tidak hanya enak didengar, tetapi sarat dengan pesan-pesan moral dan kebaikan,
termasuk kritikan.
Dalam konteks penyampaian pesan kita menilai puisi ”kandang ayam” mencapai sasaran karena mudah
dimengerti. Apalagi sampai seorang Wapres terpancing emosi.
Soal Wapres terpancing emosi dan marah-marah saat memberikan kata sambutan yang dibarengi dengan
munculnya aksi unjuk rasa (demonstrasi) dari sekelompok guru dengan membentangkan poster dan spanduk,
hal seperti itu tergolong kejadian langka.
Biasanya, kalau acara nasional, apalagi dihadiri Presiden atau Wapres, pelaksanaannya lebih
terprogram, sehingga hal-hal yang tidak diingini, seperti munculnya puisi ”kandang ayam” dan demo
guru tidak seharusnya terjadi.
Sebaliknya, sepatutnya, Wapres Jusuf Kalla tidak perlu marah-marah karena faktanya banyak sekolah yang
kondisi sangat memprihatinkan, nyaris rubuh dan beratapkan langit. Tidak hanya di pedesaan, bahkan di
perkotaan, termasuk di Sumatra Utara.
Bahkan, kalau mau dibuktikan secara fakta, banyak kandang ayam atau kandang burung para pejabat dan
penguasa serta pengusaha, kondisinya lebih mewah dari sekolah di pelosok yang nyaris rubuh. Memang
tidak semua sekolah kondisinya parah, seperti kandang ayam, kandang kambing, kandang lembu, namun yang
namanya puisi juga bagian dari kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, sehingga semestinya
tetap dihargai.
Tak Pahami Puisi
Sebenarnya, puisi tersebut hanya memberi gambaran atau kiasan belaka untuk menarik perhatian dan
menggugah pemerintah agar memperhatikan sarana dan prasarana pendidikan. Apalagi, Tap MPR sudah
memutuskan anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 20 persen dari jumlah anggaran di APBN dan APBD.
Jadi, kalau dana pendidikan sudah sesuai amanat MPR, direalisasikan plus kesejahteraan, tentunya
kondisi pendidikan nasional kita bisa ditingkatkan, jauh lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas.
Justru itu, alangkah baiknya kalau Wapres menindaklanjuti kritik dalam bentuk puisi maupun demo pada
Hari Guru kemarin dengan melakukan antisipasi pendataan di lapangan sehingga kondisi sekolah yang
kondisinya bak ”kandang ayam” memperoleh dana rehabilitasi.
Terserah apakah dananya diambil dari dana kompensasi kenaikan harga BBM atau dari sumber lainnya,
sehingga kondisi sekolah yang ”kupak-kapik” itu menjadi layak dipergunakan untuk meningkatkan
semangat dan motivasi para anak didik dan guru dalam proses belajar-mengajar.
Selain tidak menerima dikritik ”kandang ayam”, pemerintah pun kurang memperhatikan kesejahteraan
guru. Hal ini betul sekali. Kesejahteraan guru sangat rendah, terutama mayoritas guru swasta. Memang
benar apa yang dikatakan Wapres bahwa walaupun gaji guru kecil namun gaji yang diterima sekarang ini
tidak akan habis untuk makan sehari.
Di sini kita bisa melihat bahwa JK betul-betul tidak memahami makna puisi yang kaya dengan kata-kata
bersayap sehingga semakin kelihatanlah tipikal JK dalam memimpin pemerintahan dan Partai Golkar:
alergi dikritik.
Penulis adalah staf pengajar Fikom Unitomo Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar