Sinar Harapan
3/10/2002 https://groups.yahoo.com/neo/groups/ambon/conversations/messages/24042
Agama yang Komunikatif
Oleh Mochtar W. Oetomo
Akhir-akhir ini perbincangan tentang relevansi dan urgensitas pendidikan
agama di Indonesia kembali marak di berbagai media. Kritik berbagai pengamat
terhadap pola pendidikan agama di Indonesia yang cenderung formalistik cukup
menarik untuk ditanggapi. Dengan membandingkan konteks di Barat yang tanpa
pendidikan agama pun masyarakatnya bisa jujur, adil dan demokratis, banyak
penulis sampai pada kesimpulan revolusioner, bila perlu pendidikan agama
dihapuskan. Meski memberikan argumen yang cukup logis, namun jika kita
teliti lebih lanjut kecenderungan semacam ini sebenarnya agak tergesa-gesa.
Memang benar adanya, pendidikan agama kita selama ini tidak pernah
melahirkan manusia yang agamis. Bukan hanya menerima pengetahuan tentang,
shalat, puasa atau zakat, bahkan tiap hari kita telah melakukan semua
pengetahuan itu. Tiap hari kita shalat lima waktu, puasa ramadhan, shalat
jumat dan mendengarkan khotbah serta melakukan ibadah lain, tapi penindasan,
korupsi, dan kejahatan masih merajalela. Dan benar adanya, di Barat selain
tanpa pendidikan agama, bahkan mungkin juga tanpa laku ritual yang rutin
ternyata menghasilkan masyarakat yang lebih peka sosial.
Persoalannya adalah, di Barat agama sebagai bahasa irfani (serba hakikat)
telah berhasil diangkat ke realitas sosial menjadi bahasa bayani (serba
teks/realitas) sehingga lebur menjadi etika sosial. Ini karena
instrumen-instrumen dalam wilayah burhani (agen), baik pendidikan, kultur,
publik figur maupun struktur telah cukup kokoh dalam mempertemukan bahasa
irfani dan bahasa bayani tersebut. Maka ketika agama telah menjadi etika
sosial, agama telah lebur dengan masyarakatnya sendiri. Bukan sesuatu yang
terpisah dan berjarak, melainkan menjadi bagian hidup sehari-hari yang tak
terpisahkan. Dalam konteks yang demikian aktivitas formalistik agama tidak
lagi menjadi penting. Karena aktivitas agama adalah aktivitas sosial itu
sendiri, komunikatif dan membumi.
Jeda di Indonesia
Sementara di Indonesia realitas agama adalah sebuah menara gading. Terpisah
dengan realitas sosial, bahkan realitas individu. Agen-agen yang ada di
wilayah burhani belum juga bisa mempersatukan bahasa bayani khalayak dengan
bahasa irfani agama, bahkan dalam banyak kasus menggunakan bahasa irfani
agama sebagai tempat berlindung berbagai kepentingan dan keculasan. Sehingga
agama tinggallah menjadi relaitas cemerlang yang hanya harus dijaga, dipuja,
dijadikan jimat meski harus meneteskan darah penghabisan. Agama tidak lebur
dalam kehidupan sehari-hari, komunikatif dan berkembang menyertai pergulatan
hidup, sebaliknya jerih payah pergulatan hidup digunakan untuk menjaga dan
menyertai agama. Agama menjadi tidak seperti yang diarahkan oleh Allah dan
Nabi untuk memuliakan kehidupan manusianya, sebaliknya manusia dengan segala
daya memuliakan agama, meski harus membunuh manusia lainnya.
Realitas yang demikian membawa pada implikasi pada pendidikan agama yang
tidak komunikatif. Sebagai teks dan bahasa yang terpisah, ajaran-ajaran dan
pengetahuan agama dipelajari hanya untuk diyakini dan dikagumi, bukan
diperdebatkan dan ditarik ke realitas sosial. Maka pola pendidikan agama
tinggalah menjadi pola doktriner dan dogmatis, bukan argumentatif dan
dialektis sebagai ciri pendidikan yang komunikatif. Dari TK sampai Perguruan
Tinggi pelajaran dan mata kuliah agama kita hanya mengajari teknis dan
praktis bagaimana melaksanakan shalat, zakat, puasa, pahala dan dosa, namun
tidak mengaitkannya dengan kenyataan hidup dan kehidupan. Pendidikan agama
kita hanya mengajari bagaimana praktik ritual beragama, tapi tidak mengajari
bagaimana praktik sosio-antropologi beragama. Kenapa mesti ada agama,
bagaimana proses sosio-kultural terbentuknya agama, dan kenapa mesti
beragama, serta apa kaitannya dengan hidup dan kehidupan yang terus
berkembang dinamis. Pendidikan agama kita hanya mengenal hukum, ”pokoke”,
pokoknya dosa, pokoknya begini dan begitu, sehingga tidak ada tradisi
argumentasi dan dialektika dalam pengetahuan dan kehidupan beragama kita.
Pendidikan agama kita menjadi doktriner, dogmatis, statis dan tidak
komunikatif karena belum-belum kita sudah diancam dengan terbatasnya akal
manusia, sirik, dosa hingga melemahkan tradisi tafsir dan ihtihaj.
Maka, persoalannya bukan terletak pada eksistensi pendidikan agamanya
sehingga perlu dihapuskan. Seperti dijelaskan di muka, di Indonesia agama
belum menjadi etika sosial. Sehingga masyarakat masih perlu dan selalu perlu
rujukan-rujukan agama. Sehingga yang diperlukan adalah dekonstruksi terhadap
pola pendidikannya (kurikulum, pola ajar) agar lebih komunikatif. Yakni
bagaimana menempatkan siswa bukan sebagai khalayak pasif yang mesti menerima
cercaan doktrin dan dogma, melainkan menempatkannya sebagai khalayak aktif
dengan menumbuhkan tradisi argumentasi dan kritik, sehingga siswa memiliki
keterlibatan dengan pengetahuan yang dipelajari dan bisa mengaitkan de-ngan
realitas kehidupan yang ia jalani sehari-hari. Dengan begitu agama menjadi
mungkin lebur menjadi realitas atau etika sosial, yang memiliki automaticly
dalam perilaku kehidupan siswa setiap harinya. Bukan menjadi realitas yang
terpisah, dan hanya muncul ketika dibutuhkan.
Dengan Aksi Komunikasi
Pola pendidikan agama yang emansipatoris ala Freire seperti yang banyak
disarankan pengamat, yakni dengan membawa siswa melihat langsung realitas
sosial, adalah tawaran yang cukup cerdas. Namun sebuah pola emansipatoris
yang tidak didasari kerangka epistemologi yang argumentatif dan dialektis
membawa beberapa konsekuensi paradok. Pertama, adalah keberpihakan yang
ekstrem. Sehingga hasilnya adalah pergi dari satu titik ekstrem ke titik
ekstrem lain yang selalu tidak dialogis dan komunikatif. Kenyataan semacam
ini bisa mengarah pada anarkisme, baik kognisi maupun fisik. Dengan
menganggap liyan (the others) sebagai yang salah. Dan akhir-akhir ini banyak
sudah contoh yang kita lihat.
Kedua, kalaupun siswa diajak untuk melihat langsung realitas, maka apa yang
akan dia dapatkan tidak berbeda dengan kondisi kehidupannya sehari-hari.
Sama-sama tertindas, melarat dan tersisih.
Jika penglihatan ini tidak didasari oleh kerangka epistemologis yang
komunikatif, maka ada beberapa konsekuensi. Timbulnya kohesifitas anarkis.
Atau justru semakin menguatkan naluri survival of the fittest, dengan
pengejaran materi menjadi tujuan yang utama meskipun itu harus ditempuh
dengan jalan tribalisme.
Untuk itulah seperti ujar Habermas, revolusi terhadap pendidikan agama perlu
sebuah desain aksi komunikasi. Yakni, menghargai pertumbuhan subjektivitas
melalui tradisi argumentasi dan kritik. Aksi komunikatif ini paling tidak
bisa ditempuh dengan aksi yang memenuhi tiga bentuk klaim pendidikan
komunikatif.
Pertama, aksi harus memenuhi klaim kebenaran, yakni menghadirkan pendidikan
agama sebagai realitas objektif yang menyediakan kemungkinan eksplorasi,
eksplanasi dan analisis untuk menghindari dogmatisme dan statisme agama.
Kedua, pemenuhan terhadap klaim ketepatan, yakni menghadirkan pendidikan
agama yang dialektis dengan latas sosio-psikografik kultural siswa, bukan
justru mengebiri dan mengkafirkan seperti yang terjadi selama ini.
Dan akhirnya pemenuhan terhadap klaim keotentikan, dengan menghadirkan
pendidikan agama yang peka terhadap ekspresi batin siswa beserta pergulatan
kehidupannya sehari-hari. Sebuah pendidikan yang bukan hanya mengajarkan
bagimana memenuhi kewajiban, tapi juga memenuhi hak-hak sosio-kemanusiawian
siswa.
Penulis adalah Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya.
Copyright © Sinar Harapan 2002
3/10/2002 https://groups.yahoo.com/neo/groups/ambon/conversations/messages/24042
Agama yang Komunikatif
Oleh Mochtar W. Oetomo
Akhir-akhir ini perbincangan tentang relevansi dan urgensitas pendidikan
agama di Indonesia kembali marak di berbagai media. Kritik berbagai pengamat
terhadap pola pendidikan agama di Indonesia yang cenderung formalistik cukup
menarik untuk ditanggapi. Dengan membandingkan konteks di Barat yang tanpa
pendidikan agama pun masyarakatnya bisa jujur, adil dan demokratis, banyak
penulis sampai pada kesimpulan revolusioner, bila perlu pendidikan agama
dihapuskan. Meski memberikan argumen yang cukup logis, namun jika kita
teliti lebih lanjut kecenderungan semacam ini sebenarnya agak tergesa-gesa.
Memang benar adanya, pendidikan agama kita selama ini tidak pernah
melahirkan manusia yang agamis. Bukan hanya menerima pengetahuan tentang,
shalat, puasa atau zakat, bahkan tiap hari kita telah melakukan semua
pengetahuan itu. Tiap hari kita shalat lima waktu, puasa ramadhan, shalat
jumat dan mendengarkan khotbah serta melakukan ibadah lain, tapi penindasan,
korupsi, dan kejahatan masih merajalela. Dan benar adanya, di Barat selain
tanpa pendidikan agama, bahkan mungkin juga tanpa laku ritual yang rutin
ternyata menghasilkan masyarakat yang lebih peka sosial.
Persoalannya adalah, di Barat agama sebagai bahasa irfani (serba hakikat)
telah berhasil diangkat ke realitas sosial menjadi bahasa bayani (serba
teks/realitas) sehingga lebur menjadi etika sosial. Ini karena
instrumen-instrumen dalam wilayah burhani (agen), baik pendidikan, kultur,
publik figur maupun struktur telah cukup kokoh dalam mempertemukan bahasa
irfani dan bahasa bayani tersebut. Maka ketika agama telah menjadi etika
sosial, agama telah lebur dengan masyarakatnya sendiri. Bukan sesuatu yang
terpisah dan berjarak, melainkan menjadi bagian hidup sehari-hari yang tak
terpisahkan. Dalam konteks yang demikian aktivitas formalistik agama tidak
lagi menjadi penting. Karena aktivitas agama adalah aktivitas sosial itu
sendiri, komunikatif dan membumi.
Jeda di Indonesia
Sementara di Indonesia realitas agama adalah sebuah menara gading. Terpisah
dengan realitas sosial, bahkan realitas individu. Agen-agen yang ada di
wilayah burhani belum juga bisa mempersatukan bahasa bayani khalayak dengan
bahasa irfani agama, bahkan dalam banyak kasus menggunakan bahasa irfani
agama sebagai tempat berlindung berbagai kepentingan dan keculasan. Sehingga
agama tinggallah menjadi relaitas cemerlang yang hanya harus dijaga, dipuja,
dijadikan jimat meski harus meneteskan darah penghabisan. Agama tidak lebur
dalam kehidupan sehari-hari, komunikatif dan berkembang menyertai pergulatan
hidup, sebaliknya jerih payah pergulatan hidup digunakan untuk menjaga dan
menyertai agama. Agama menjadi tidak seperti yang diarahkan oleh Allah dan
Nabi untuk memuliakan kehidupan manusianya, sebaliknya manusia dengan segala
daya memuliakan agama, meski harus membunuh manusia lainnya.
Realitas yang demikian membawa pada implikasi pada pendidikan agama yang
tidak komunikatif. Sebagai teks dan bahasa yang terpisah, ajaran-ajaran dan
pengetahuan agama dipelajari hanya untuk diyakini dan dikagumi, bukan
diperdebatkan dan ditarik ke realitas sosial. Maka pola pendidikan agama
tinggalah menjadi pola doktriner dan dogmatis, bukan argumentatif dan
dialektis sebagai ciri pendidikan yang komunikatif. Dari TK sampai Perguruan
Tinggi pelajaran dan mata kuliah agama kita hanya mengajari teknis dan
praktis bagaimana melaksanakan shalat, zakat, puasa, pahala dan dosa, namun
tidak mengaitkannya dengan kenyataan hidup dan kehidupan. Pendidikan agama
kita hanya mengajari bagaimana praktik ritual beragama, tapi tidak mengajari
bagaimana praktik sosio-antropologi beragama. Kenapa mesti ada agama,
bagaimana proses sosio-kultural terbentuknya agama, dan kenapa mesti
beragama, serta apa kaitannya dengan hidup dan kehidupan yang terus
berkembang dinamis. Pendidikan agama kita hanya mengenal hukum, ”pokoke”,
pokoknya dosa, pokoknya begini dan begitu, sehingga tidak ada tradisi
argumentasi dan dialektika dalam pengetahuan dan kehidupan beragama kita.
Pendidikan agama kita menjadi doktriner, dogmatis, statis dan tidak
komunikatif karena belum-belum kita sudah diancam dengan terbatasnya akal
manusia, sirik, dosa hingga melemahkan tradisi tafsir dan ihtihaj.
Maka, persoalannya bukan terletak pada eksistensi pendidikan agamanya
sehingga perlu dihapuskan. Seperti dijelaskan di muka, di Indonesia agama
belum menjadi etika sosial. Sehingga masyarakat masih perlu dan selalu perlu
rujukan-rujukan agama. Sehingga yang diperlukan adalah dekonstruksi terhadap
pola pendidikannya (kurikulum, pola ajar) agar lebih komunikatif. Yakni
bagaimana menempatkan siswa bukan sebagai khalayak pasif yang mesti menerima
cercaan doktrin dan dogma, melainkan menempatkannya sebagai khalayak aktif
dengan menumbuhkan tradisi argumentasi dan kritik, sehingga siswa memiliki
keterlibatan dengan pengetahuan yang dipelajari dan bisa mengaitkan de-ngan
realitas kehidupan yang ia jalani sehari-hari. Dengan begitu agama menjadi
mungkin lebur menjadi realitas atau etika sosial, yang memiliki automaticly
dalam perilaku kehidupan siswa setiap harinya. Bukan menjadi realitas yang
terpisah, dan hanya muncul ketika dibutuhkan.
Dengan Aksi Komunikasi
Pola pendidikan agama yang emansipatoris ala Freire seperti yang banyak
disarankan pengamat, yakni dengan membawa siswa melihat langsung realitas
sosial, adalah tawaran yang cukup cerdas. Namun sebuah pola emansipatoris
yang tidak didasari kerangka epistemologi yang argumentatif dan dialektis
membawa beberapa konsekuensi paradok. Pertama, adalah keberpihakan yang
ekstrem. Sehingga hasilnya adalah pergi dari satu titik ekstrem ke titik
ekstrem lain yang selalu tidak dialogis dan komunikatif. Kenyataan semacam
ini bisa mengarah pada anarkisme, baik kognisi maupun fisik. Dengan
menganggap liyan (the others) sebagai yang salah. Dan akhir-akhir ini banyak
sudah contoh yang kita lihat.
Kedua, kalaupun siswa diajak untuk melihat langsung realitas, maka apa yang
akan dia dapatkan tidak berbeda dengan kondisi kehidupannya sehari-hari.
Sama-sama tertindas, melarat dan tersisih.
Jika penglihatan ini tidak didasari oleh kerangka epistemologis yang
komunikatif, maka ada beberapa konsekuensi. Timbulnya kohesifitas anarkis.
Atau justru semakin menguatkan naluri survival of the fittest, dengan
pengejaran materi menjadi tujuan yang utama meskipun itu harus ditempuh
dengan jalan tribalisme.
Untuk itulah seperti ujar Habermas, revolusi terhadap pendidikan agama perlu
sebuah desain aksi komunikasi. Yakni, menghargai pertumbuhan subjektivitas
melalui tradisi argumentasi dan kritik. Aksi komunikatif ini paling tidak
bisa ditempuh dengan aksi yang memenuhi tiga bentuk klaim pendidikan
komunikatif.
Pertama, aksi harus memenuhi klaim kebenaran, yakni menghadirkan pendidikan
agama sebagai realitas objektif yang menyediakan kemungkinan eksplorasi,
eksplanasi dan analisis untuk menghindari dogmatisme dan statisme agama.
Kedua, pemenuhan terhadap klaim ketepatan, yakni menghadirkan pendidikan
agama yang dialektis dengan latas sosio-psikografik kultural siswa, bukan
justru mengebiri dan mengkafirkan seperti yang terjadi selama ini.
Dan akhirnya pemenuhan terhadap klaim keotentikan, dengan menghadirkan
pendidikan agama yang peka terhadap ekspresi batin siswa beserta pergulatan
kehidupannya sehari-hari. Sebuah pendidikan yang bukan hanya mengajarkan
bagimana memenuhi kewajiban, tapi juga memenuhi hak-hak sosio-kemanusiawian
siswa.
Penulis adalah Staf Pengajar Fikom Unitomo Surabaya.
Copyright © Sinar Harapan 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar