Kamis, 18 Februari 2016

Negeri Horor


Sinar HarapanSelasa, 01 Maret 2005 https://groups.yahoo.com/neo/groups/ambon/conversations/messages/37147


Oleh Mochtar W Oetomo
Udara yang bagaimana yang kita hirup dari orbit kehidupan Indonesia kontemporer seperti sekarang ini? Kita hidup dalam sebuah horror mundi, sebuah dunia yang penuh dengan rasa cemas dan takut. Mau parkir sepeda motor kita cemas kemalingan. Naik bis kota takut kecopetan. Naik angkutan jangan-jangan dirampok. Tidak memberi pengamen dan peminta di traffict light khawatir cat mobil digores paku. Punya bayi ngeri diculik. Nonton sepak bola takut dikompas bonek dan terjadi kerusuhan. Mau ngebut cemas jalan berlubang, pelan-pelan dipisuhi tukang becak.
Inilah negeri horor kita, mau berusaha takut digusur. Mau kuliah takut universitasnya menjadi sarang mafia skripsi, nilai dan ijazah. Hendak mengurus KTP dan SIM khawatir dipingpong birokrasi. Musim hujan takut banjir, musim panas takut dehidrasi. Hendak bercinta takut hamil lagi, karena rumah yang sempit dan panas. Mau tidur takut kesiangan hingga perlu jam beker untuk membangunkannya. Bahkan mau sholat ke masjidpun cemas pulang tak lagi memakai sendal.
Sebagai sebuah realitas, fragmen-fragmen horor tersebut sebenarnya tidak terlalu berkaitan dan koheren satu dengan yang lain. Akan tetapi ketika fragmen-fragmen realitas tersebut diangkat ke media dan menjadi konsumsi khalayak, maka tanda, gambaran dan citra dari fragmen-fragmen tersebut melampaui realitasnya sendiri, hiperreality of horror.
Ketika berbagai peristiwa dan realitas tersebut hadir satu per satu melalui kekuatan representasi dan legitimasi media ke hadapan imaji khalayak, maka dengan kekuatan resonansi imajinernya fragmen-fragmen tersebut sambung-menyambung menjadi satu kesatuan imaji, kebulatan wacana yang ketika diberi makna-makna tertentu di wilayah perbincangan sosial bergeser menjadi serangkaian realitas universal. Universalisasi citra horor menjadi horor itu sendiri.Akan tetapi jika kita membincang fragmen-fragmen tersebut sebagai sebuah kondisi epistemologis, maka nalar universalitas dari realiatas horor tersebutlah yang justru subtansial.
Tiga Watak Horor
Dalam logika imajinasi horor seperti di atas, paling tidak ada tiga karakter utama yang dapat kita jadikan �pengilon� untuk membaca realitas horor di sekitar kita. Pertama, constructed, bentukan, terbangun, terkonstruksi secara bertahap dan rasional. Jika ketakutan atau kecemasan kita terhadap berbagai realitas horor adalah sebuah ketakutan terhadap suatu kejahatan atau bencana yang tiba-tiba, alamiah, dan sepantasnya terjadi (berdasar logika ruang dan waktu). Misalnya parkir sepeda tidak dikunci, jalan sendirian di tengah malam dan dirampok. Maka bencana dan kejahatan constructed adalah sebuah bencana dan kejahatan yang terjadi karena urutan logis, karena laku konstruktivisme, dalam beberapa hal rekayasa, dan bukan atas kewajaran dan kealamiahan.
Berbagai bentuk bencana, tragedi dan kejahatan yang berkeliaran di sekitar kita selama ini sesungguhnya bukanlah realitas horor alamiah, melainkan konstruktivisme horor. Curanmor, pencopetan, maraknya anak jalanan, jalan berlubang, banjir, penculikan bayi, penggusuran, mbulet-nya birokrasi bukanlah sebuah realitas horor alamiah, melainkan karena problem-problem kultural dan struktural yang saling terkait dan terencana. Semua realitas ini adalah buah dari unpredictable kerja teknologis, mesianik dan pembangunan yang kita elu-elukan selama ini. Dalam beberapa hal, realitas horor tersebut adalah sebuah abjeksi, yakni sebuah skenario, rekayasa yang memanfaatkan batas antara kenyataan dan kehampaan hukum demi kepentingan instrumental individu atau kelompok. Jalan berlubang, banjir, birokrasi yang �mbulet�, penggusuran, mafia skripsi adalah beberapa horor abjeksi.
Kedua, infective, menjalar bagaikan virus. Selain karena representasi media yang fragmentif dan terus-menerus seperti diuraikan di atas. Kecemasan dan ketakutan akan realitas horor yang imajiner tersebut adalah beberapa konsekuensi masyarakat teknologis dewasa ini. Seperti ujar Erich Fromm, prinsip utama masyarakat teknologis dan mesianik adalah �kerjakan selama sesuatu itu secara teknis mungkin dikerjakan�. Maka jika secara teknis mengamen dan menggertak itu mungkin dikerjakan, kerjakan. Jika secara teknis mengurangi lebar jalan tidak mungkin dilakukan, maka kurangi tebalnya. Jika secara teknis, menculik, menggusur, memalsukan dan menjual skripsi itu mungkin dilakukan, lakukan. Jika secara teknis sebuah berita itu mungkin dibuat, diedarkan dan pasti dikonsumsi, buat dan edarkan.
Dalam ciri masyarakat yang demikian, titik henti tidak ada. Segala sesuatu menjadi mungkin dikerjakan dan dilakukan. Tanpa batas, tanpa puas, dan dengan demikian kemungkinan-kemungkinan teknis tadi menggerus kemungkinan-kemungkinan humanis yang butuh jeda, relationship, dan kontemplasi. Maka ketika masyarakat kita telah disibukkan oleh kemungkinan-kemungkinan teknis, tujuan hidup pun cenderung menjadi instrumental, yang dengan demikian semakin menggerus tujuan hidup komunikatif. Lebih dari itu pola pikir teknis menuntut prasyarat ukuran. Sebab tanpa mesianisasi yang pasti, ukuran yang pasti, langkah yang pasti, rencana yang pasti, kewaspadaan yang pasti, waktu yang pasti, sebuah kemungkinan teknis akan menjadi ketidakmungkinan teknis yang berakibat fatal pada jalannya roda mesin.
Oleh karenanya kebutuhan akan kepastian masyarakat teknologis dewasa ini adalah kebutuhan yang paling utama. Karena kebutuhan akan kepastian inilah yang menopang kebutuhan akan rasa aman. Sayangnya sifat manusia mesianik adalah semakin ia ingin mendapat kepastian, semakin pula ia merasa tidak pasti dengan ukuran kepastian tersebut. Untuk mendapatkan kepastian sepeda motor kita tidak dicuri, kita kunci stang, Kita belum cukup pasti, kita kunci roda. Belum cukup pasti, kita kunci alarm. Belum pasti juga, kita kunci rahasia. Apa yang terjadi justru kebutuhan akan kepastian itu menjadi virus kecemasan dan ketakutan yang begitu cepat menjalar ketika mendapatkan injeksi-injeksi stimuli (peristiwa horor yang dikabarkan media).
Ketiga, floating. Mengapung dan berputar bagaikan orbit. Maka ketika wacana dan representasi media tentang horor hadir dalam masyarakat yang begitu butuh akan kepastian dan rasa aman, wacana itu tak butuh lagi realitas yang sesungguhnya. Realitas horor itu seperti sebuah orbit yang terus berputar-putar mengapung di atas kehidupan kita sehari-hari. Sehingga kita terus merasa diawasi, diancam dan diintip oleh satu kekuatan horor yang setiap saat dan setiap waktu siap menerkam kita. Kapan pun, di mana pun kita terus merasa tidak pasti dan tidak yakin, akankah kenyataan-kenyataan horor yang terjadi pada orang lain tersebut terjadi pada diri kita juga.
Inilah horror mundi. Ketika kita hanya berpikir tentang ukuran kepastian dan mengabaikan spontanitas. Ketika kita dipacu oleh ukuran-ukuran teknis dan melalaikan ukuran-ukuran humanis yang komunikatif. Ketika kita hanya menganggap semua laku dalam ukuran kerja dan bukan laku komunikatif. Horror mundi barangkali memang sebuah ciptaan, rekayasa dan problem struktural, namun ketika ia telah terbangun dalam imaji dan nurani teknologis dan mesianik kita. Sesungguhnya semua realitas, akan menjadi horor. Apa yang kita perlukan sekarang adalah sebuah dekonstruksi kultural, demi terciptanya rekonstruksi dan terobosan kultural. Karena yang kita alami bersama bukan semata-mata soalan politik dan kriminal, lebih dari itu adalah problem sosio-psiko peradaban yang puluhan tahun mengalami pembusukan. Kalau tidak, selamanya, hidup kita, negeri kita adalah sebuah horror mundi.
Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo Surabaya.


Copyright � Sinar Harapan 2003 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar