Monday, 04 November 2013 12:54
http://bakohumas.jatimprov.go.id/index.php/info/berita-terkini/129-jurnalisme-aparatur-alternatif-baru-di-tengah-konglemerasi-media
Puluhan pejabat humas yang mewakili berbagai instansi pemerintah di Jawa Timur berkumpul di Hotel Selecta, Kota Batu selama dua hari, tiga pekan kemarin. Mereka yang tergabung dalam Bakohumas Provinsi Jawa Timur ini sedang mengikuti pelatihan literasi media bagi aparat humas pemerintah. Literasi media atau melek media adalah salah satu bentuk kecerdasan yang harus dimiliki seorang humas sebagai modal awal untuk merumuskan bentuk counter-media yang dapat dilakukan dalam upaya untuk meredam begitu masifnya pemberitaan media saat ini, khususnya pemberitaan tentang pemerintahan.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintah kerap kali menjadi sasaran tembak yang empuk bagi media. Mulai dari mengkritisi kebijakan hingga anggaran. Jika kritik yang disampaikan media tersebut berdasarkan fakta dan dapat dipertanggungjawabkan, tentu bukan suatu masalah. Namun bagaimana jika pemberitaan media tersebut menampilkan fakta yang tidak berimbang, tidak utuh dan sulit dikonfirmasi kebenarannya? Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan adalah mengembangkan Jurnalisme Aparatur.
Zainal Arifin Emka, akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-AWS Surabaya (Stikosa) yang hadir sebagai narasumber dalam pertemuan tersebut mengingatkan bahwa aparat humas pemerintah juga dapat menjalankan tugas seorang jurnalis. “Sebagai ‘orang dalam’ seorang humas jelas lebih mengetahui isi dapur pemerintah, sehingga mereka tentu akan lebih dapat menyampaikan informasi secara lebih utuh,” jelas Zainal. Aparat pemerintah, lanjutnya, punya hak dan peluang untuk berbuat dan berpartisipasi lebih. Aparatur bisa mengoleksi, melaporkan, menganalisis, dan menyebarluaskan berita dan informasi.
Langkah counter-media yang diambil oleh seorang humas adalah bentuk perlawanan atas dominasi informasi oleh sebagian elit, khususnya elit media. “Sebab media berpotensi merusak, mereka bisa menulis seenaknya dan merusak reputasi orang dengan berita-berita yang menyesatkan,” tegas Zainal yang juga tenaga ahli di bidang komunikasi dan media massa di Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur ini.
Media, lanjut Zainal, juga dapat menyulut kepanikan, menghasut tindak kekerasan bahkan dapat mengobarkan permusuhan. Disinilah peran strategis aparat humas pemerintah sebagai penengah dengan menjelaskan kebijakan pemerintah secara komprehensif, holistik dan berimbang. Sehingga potensi konflik horizontal yang mungkin timbul akibat adanya kebijakan pemerintah yang tidak dipahami secara utuh dapat diredam.
Dijelaskan Zainal pula, cara pandang media saat ini lebih mewakili cara pandang elit media ketimbang sudut pandang publik. Dengan demikian, realitas yang coba dihadirkan media saat ini lebih banyak tenggelam atau dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan politik elit media.
Kepentingan ekonomi dan politik elit media juga mendapat sorotan tajam dari Mochtar W Oetomo, Staf Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura, yang juga hadir sebagai narasumber dalam pertemuan tersebut. Mochtar menyebut bahwa elit media saat ini telah berkembang menjadi konglemerasi media yang menggurita. “Kepemilikan media saat ini menjadi monopoli segelintir orang atau kelompok, pada akhirnya mereka-mereka inilah yang menjadi penentu isi media kita,” jelas Mochtar.
Konglemerasi media, jelas Mochtar mengancam keragaman konten media sebab pemilik medianya sama. “Walaupun mereka memiliki bentuk media yang beragam tapi isinya seragam,” tutur Mochtar. Ia kemudian memberikan contoh bahwa media di Indonesia saat ini setidaknya dikuasai oleh empat grup besar yaitu Bakrie Grup di bawah kendali Aburizal Bakrie; CT Corp yang dipimpin Chairul Tanjung; Media Grup dinakhodai Surya Paloh dan MNC Grup yang dikuasai Hary Tanoesudibyo. Itu masih diluar grup lain seperti Jawa Pos Grup maupun Kompas Gramedia Grup.
Menurut Mochtar, yang patut dikhawatirkan sebenarnya selain keseragaman konten adalah ketika media-media ini kemudian menjadi alat politik para elit media mengingat mereka juga ternyata adalah para politisi di berbagai partai politik. “Media sebagai pilar demokrasi adalah alat kontrol sosial yang mencegah munculnya monopoli kekuasaan oleh pihak tertentu, masalah kemudian muncul ketika pihak-pihak yang berkuasa secara ekonomi dan politik itu justru adalah pemilik media,” tegas Mochtar.
Karena kepentingan ekonomi media massa yang sudah berkembang, lanjut Mochtar, maka media akan berubah tidak lagi menjadi media yang idealis karena ada campur tangan pemilik media yang akan menjadi gatekeeper utama yangmenentukan informasi dan opini “pilihan” yang layak dimuat. “Hal ini akan membuat informasi yang sampai ke masyarakat telah diatur sedemikian rupa tanpa disadari dan menjadi tidak seimbang,” tambahnya. Ketidakberimbangan informasi, homogenitas konten dan masuknya kepentingan ekonomi politik para elit media dalam pemberitaan inilah yang semakin mendorong aparatur pemerintah untuk menghasilkan media alternatif atau minimal memberikan sudut pandang lain dalam pemberitaan.
Secara teknis, Zainal kemudian menyampaikan bagaimana bentuk kerja aparatur khususnya humas pemerintah dalam hal ini. “Aparat dapat berperan produsen informasi dengan memproduksi berita, teks, foto, suara dan gambar bergerak sehingga publik dapat mendapatkan informasi dari sudut pandang berbeda,” jelas Zainal. Semua hal tersebut, lanjut Zainal, tetap harus memperhatikan kaidah-kaidah dalam dunia pewartaan dan mengacu pada tata cara dan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers.
“Hal yang juga harus terus diingat oleh aparat humas pemerintah adalah tugas mereka untuk menyajikan informasi yang mudah dipahami dan memudahkan informasi yang rumit agar dapat dimengerti oleh masyarakat,” tambah Zainal. Ia juga mengingatkan bahwa penyajian informasi oleh aparatur pemerintah harus tetap obyektif, faktual dan tidak diliputi emosi dan persepsi pribadi. Dengan demikian informasi yang disampaikan dapat dipercaya masyarakat dan mampu menghadirkan perspektif baru ditengah seragamnya konten media. “Kalau tidak bisa mengubah keadaan, setidaknya kita bisa mengubah sudut pandang,” pungkas Zainal. (eko)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar